YLKI Dapat Banyak Aduan Soal Obat Herbal Corona, Ada Andil Influencer

ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/foc.
Seorang peniliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melakukan uji Lab penemuan obat herbal untuk penyembuhan COVID-19 dan penghambatan pertumbuhan virus corona di Lab Cara Pembuatan Obat Tradisional Baik (CPOTB) Pusat Penelitian Kimia LIPI, Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (6/5/2020).
Penulis: Dimas Jarot Bayu
10/8/2020, 12.53 WIB

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) banyak mendapatkan pengaduan soal penjualan obat-obatan herbal terkait virus corona atau Covid-19. Jumlahnya berada di urutan kedua setelah pengaduan terkait masalah pengembalian dana (refund) dari jasa hotel, transportasi dan lainnya.

Berdasarkan data YLKI sejak Maret-Juni 2020, total pengaduan terkait masalah refund jasa hotel, transportasi, dan lainnya mencapai 38,8%. Sementara, pengaduan konsumen atas penjualan obat-obatan herbal terkait corona mencapai 33,3%.

Pengaduan soal penjualan obat ini dikelompokkan bersama masalah harga masker dan penyanitasi tangan. “Ini masih jadi pengaduan paling tinggi atau setidaknya nomor dua, yaitu 33,3%,” kata Tulus dalam konferensi virtual, Senin (10/8).

Tulus mengatakan, pengaduan terjadi karena obat-obatan herbal tersebut banyak diklaim bisa mengatasi virus corona. Padahal, belum ada penelitian terkait efektivitas obat tersebut untuk menyembuhkan pasien Covid-19.

Selaiin itu juga tidak jelas juga efek samping yang bakal berdampak saat masyarakat mengonsumsi obat tersebut. “Ini menjadi perhatian khusus konsumen dan menjadi indikator tingginya pengaduan,” kata Tulus.

Adapun, Tulus menjelaskan ada beberapa faktor yang membuat maraknya klaim obat untuk mengatasi corona, mulai dari buruknya politik manajemen penanganan wabah corona oleh pemerintah sejak awal hingga banyaknya influencer yang mempromosikan obat-obatan yang belum terdaftar di BPOM.

Menurut Tulus  para pejabat publik memberikan contoh buruk dalam merespons corona. “Mulai dari pernyataan soal nasi kucing, doa qunut, jamu Pancasila, sampai kalung eucalyptus,” kata Tulus.

Selain itu, konsumen mengalami tekanan psikologis karena belum ditemukannya obat dan vaksin corona, serta tekanan ekonomi karena pendapatannya turun, gaji dipotong, dirumahkan, hingga terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Kemudian, literasi konsumen terhadap produk obat atau jamu masih rendah. “Konsumen kurang paham klaim obat atau jamu,” kata dia.

Persoalan ini juga muncul karena banyak influencer ikut mempromosikan obat-obatan herbal yang belum terdaftar di BPOM. Ada pula masalah penegakan hukum atas peredaran obat-obatan tersebut yang masih rendah.

Meski ada kasus yang dibawa hingga pengadilan, Tulus menilai vonis yang diberikan hakim cukup ringan. “Tidak menjerakan bagi pelakunya. Akibatnya kasus berulang dan pelakunya masih sama,” kata dia.

Atas dasar itu, YLKI meminta agar pemerintah dapat memperbarui politik manajemen penanganan wabah. Menurutnya, pemerintah tak bisa mengatasi pandemi corona hanya dengan fokus memperbaiki ekonomi.

Dia pun mendorong peningkatan literasi masyarakat konsumen terhadap produk obat, jamu tradisional, dan herbal. “Perlu penegakan hukum yang konsisten, kontinyu, dan terintegrasi sampai ke sisi hulu, khususnya penegakan secara online,” kata dia.

Selain masalah obat, YLKI juga banyak mendapatkan pengaduan soal restrukturasi utang sebesar 11,11%. Ada 5,5% pengaduan konsumen terkait penumpukan orang di sejumlah lokasi, seperti supermarket dan halte bus.

Kemudian, 2,7% pengaduan terkait dengan masalah layanan kesehatan. Ada 2,7% pengaduan terkait penghapusan rute Transjakarta, dan 2,7% pengaduan dalam kategori lainnya.

Reporter: Dimas Jarot Bayu