157 Perusahaan di Kalbar Dikenakan Sanksi Terkait Pembakaran Hutan

Katadata
Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, memaparkan materi dalam acara webinar katadata Ancaman Kebakaran Hutan di Tengah Pandemi. Pemprov Kalbar hingga kini telah memberikan sanksi dan peringatan terhadap 157 perusahaan terkait kebakaran hutan.
Editor: Ekarina
13/8/2020, 16.49 WIB

Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat hingga kini telah memberi surat peringatan dan sanksi kepada 157 perusahaan yang menyebabkan kebakaran hutan di lahan gambut. Keputusan ini mengacu pada Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 39 Tahun 2019 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan.

Gubernur Provinsi Kalimantan Barat Sutarmidji menjelaskan, dari 157 perusahaan yang diberi peringatan, sebanyak 109 merupakan perusahaan perkebunan dan 48 perusahaan kehutanan.

Adapun sanksi yang diberikan berupa larangan penggunaan lahan yang terbakar selama lima tahun bula terbukti disengaja. Sementara itu, jika lahan yang terbakar tidak disengaja maka sanksinya berupa pelarangan selama tiga tahun.

Sanksi ini juga berlaku bagi pengembang kawasan perumahan (developer) yang membuka lahan dengan cara dibakar. "Sanksi diberikan karena titik api yang ada berada di kordinat perushaan," kata Sutarmidji dalam webinar Katadata Forum 'Ancaman Kebakaran Hutan di Tengah Pandemi' di Jakarta, Kamis (13/8).

Untuk menekan potensi kebakaran hutan, pemerintah daerah terus mendorong restorasi lahan gambut. Misalnya, melalui penanama tumbuhan bernilai ekonomis tinggi seperti pisang, bawang merah dan lidah buaya (aloe vera).

Hal itu diharapkan semakin meningkatkan kesadaran masyarakat melindungi lahan gambut. "Untuk lidah buaya sangat bagus karena satu pelepahnya bisa sampai 2,5 kilogram dan tidak ada di daerah lain," kata dia.

Tak hanya itu, upaya memperkuat indeks ketahanan desa pun dilakukan dengan meningkatkan akses kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Sedangkan untuk masyarakat adat dilakukan melalui pendekatan kearifan lokal berupa sanksi hukuman adat bagi pembakar hutan.

"Kalau ini digunakan maka tidak akan serampangan mengelola lahan gambutnya," kata dia.

Dalam kesemapatan yang sama, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengatakan, berbagai penelitian menyebutkan kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia 100% disebabkan oleh tangan manusia. Banyak dari mereka yang membuka lahan dengan cara dibakar.

Kondisi ini berbeda dengan negara lain yang di kawasan Australia maupun Amerika. Di negara tersebut kebakaran hutan lebih disebabkan faktor alam, dimana pada musim kemarau, kayu yang bergesekan berpotensi menimbulkan kebakaran.

Potensi kebakaran hutan kian tinggi bila terjadi musim kemarau  panjang. Berdasarkan catatannya, kebakaran hutan tahun lalu menghanguskan lahan seluas 1,6 juta hektare. Wilayah karhutla terlua ada di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah.

"Kebakaran hutan tahun lalu sepadan dengan tahun 2015 yang mencapai 2,5 juta hektare," kata dia.

Kendati demikian, sama seperti Badan Meterologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Doni memperkirakan luas lahan yang terbakar tahun ini akan menurun dibandingkan tahun lalu. Pasalnya, curah hujan tahun ini diperkirakan lebih tinggi dibandingkan tahun lalu.

"Kami lebih optimistis dari tahun lalu, selain karena faktor cuaca, saat ini akibat corona lebih banyak masyarakat beraktivitas di dalam rumah, sehingga menekan kebakaran hutan," katanya.

Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, titik panas telah menurun sebanyak 601 titik dan luas lahan yang telah terbakar hingga 31 Juli 2020 menurun 38.000 ha. 

"Pemerintah juga telah mengirimkan tim modifikasi cuaca sejak bulan April lalu," kata dia.

Sebagai informasi, Bank Dunia melaporkan total kerugian ekonomi dari kebakaran hutan di Indonesia pada tahun ini mencapai US$ 5,2 miliar atau sekitar Rp 72,9 triliun. Nilai tersebut setara dengan 0,5 % dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. 

Estimasi tersebut berdasarkan kajian pada delapan provinsi yang terdampak kebakaran pada Juni hingga Oktober 2019. Meski begitu, analis Bank Dunia menyebutkan kebakaran terus berlanjut hingga November.

Bank Dunia memperkirakan kerusakan langsung terhadap aset mencapai US$ 157 juta atau setara Rp 2,3 triliun, sedangkan kerugian dari kegiatan ekonomi mencapai US$ 5 miliar atau setara Rp 73,7 triliun.

Reporter: Tri Kurnia Yunianto