Langkah Taktis Anak Bangsa Menghadapi Serbuan Virus Corona

Ilustrator: Joshua Siringoringo | Katadata
Penulis: Yuliawati
17/8/2020, 08.00 WIB

Deborah Johana Ratu sempat menggunakan jas hujan ketika memeriksa pasiennya sebagai upaya mencegah dari potensi terpapar virus corona. Bahkan, untuk melindung area matanya, Kepala Puskesmas di Kelurahan Pasir Kaliki, Kecamatan Cicendo, Kota Bandung ini memakai kacamata renang. Sementara pada bagian hidung mengenakan masker kain.

Seluruh pakaian tersebut sebenarnya tak sesuai dengan standar Badan Kesehatan Dunia (WHO). Dengan alat pelindung diri (APD) seperti itu, Deborah serta dokter dan petugas medis lain yang bekerja bersamanya tetap berisiko tinggi tertular virus corona dari pasien.

Itu kisah sekitar lima bulan lalu ketika pandemi corona mulai merebak di Indonesia. Tenaga medis kesulitan mendapatkan masker N95 dan pakaian hazmat. Selain barang tersebut langka, stok yang ada kerap menjadi perebutan di masyarakat.

Berdasarkan pantauan Katadata.co.id, masker kesehatan di Indonesia bak ditelan bumi ketika wabah virus corona mulai masuk Malaysia dan Singapura sejak akhir Januari 2020. Lalu, harganya melambung tinggi setelah Presiden Jokowi secara resmi mengumumkan kasus pertama positif Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020.

Sebelum muncul wabah virus corona pertama kali di Wuhan, Tiongkok, satu kotak masker bedah isi 50 lembar dibanderol Rp 20 ribu. Pada 4 Maret atau dua hari setelah pengumuman kasus Covid-19, harga jualnya menjadi Rp 300 - 350 ribu per kotak.

Di tengah kondisi genting itu, untung saja produsen tekstil dalam negeri bergerak cepat. Salah satunya, PT Sri Rezeki Isman Tbk (Sritex) yang memproduksi masker nonmedis dengan harga terjangkau yakni Rp 5.500 per helai. Masker kain ini terdiri dari dua lapis berbahan antimikroba dan antiair.

Sritex yang selama ini memproduksi pakaian tentara dan outwear, membuka pesanan minimal 1.000 helai kepada publik mulai 20 Maret 2020. Sambutan publik luar biasa yang membuat Sritex harus menutup sementara pesanannya selang beberapa hari setelah penawaran mereka. 

Corporate Secretary Srite Welly Salam mengatakan perusahaannya membuat masker nonmedis di tengah situasi kelangkaan agar masyarakat tidak berebut stok masker dengan pekerja medis. “Kami ingin membantu masyarakat untuk mendapatkan masker dengan kualitas yang baik dan harga terjangkau,” kata Welly.

Sebelum meluncurkan produknya, Sritex telah menguji keandalan masker untuk pekerja mereka. Welly menyebut proses riset dan pengujian APD bahkan dimulai sejak Januari 2020 ketika wabah corona masih terbatas menyebar di wilayah Wuhan. “Tim riset Sritex berpikir virus corona akan cepat atau lambat akan menyebar ke negara-negara lain termasuk Indonesia,” kata Welly.

Baju hazmat mulai diproduksi pada awal Februari 2020 dan perusahaan telah mengantongi sertifikasi internasional dari American National Standard ANSI/AAMI PB 70 : 2012 Level 3. Saat ini Sritex memproduksi masker setiap bulannya 30 juta helai dan baju hazmat 300 ribu unit. “Itu rata-rata kapasitas per bulan mulai dari April sampai Juni,” kata Welly. 

Organisasi nirlaba Solidaritas Berantas Covid-19 pada April lalu atau sebulan setelah pandemi merebak di negeri ini menyebutkan kebutuhan APD secara nasional mencapai 3,8 juta unit. Berikut grafik rincian kebutuhan APD berdasarkan provinsi dalam Databoks:

Selain Sitex,  PT Pan Brothers Tbk (PBRX) memproduksi masker dan baju hazmat di tengah kelangkaan. Vice Chief Executive Officer Pan Brothers, Anne Patricia Sutanto mengatakan perusahaannya memulai produksi masker pada Maret untuk memenuhi kebutuhan para pekerjanya.

Setelah itu, datang permintaan dari luar. “Banyak permintaan datang dari dinas kesehatan, pabrik dan perusahaan besar, kemudian ini menjadi lini bisnis baru,” kata Anne.

Pada minggu ketiga Maret, Kementerian Keuangan mengontak dan meminta Pan Brothers memproduksi APD untuk dinas kesehatan. Selain APD, Pan Brother memproduksi masker yang medical grade dan secara resmi digunakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Kesehatan.

Produksi masker saat ini 70 - 80 juta helai. Targetnya hingga tahun ini jumlahnya menjadi 100 juta helai. Sedangkan produksi baju hazmat saat ini 7 - 8 juta unit per bulan. “Bila tak ada demand setidaknya produksi baju hazmat 2 - 3 juta per bulan,” kata Anne.

Berkat diversifikasi ini perusahaan pun menangguk keuntungan di saat order dari produk lainnya berkurang drastis selama pandemi. Tak hanya memenuhi dalam negeri, Pan Brothers juga mengekspor APD ke beberapa negara seperti Amerika Serikat, Singapura, Eropa dan Asean mulai Juni lalu.

Permintaan APD yang tinggi membuat perusahaan tetap optimistis mampu meningkatkan penjualan 10 – 15 % dari pencapaian tahun lalu US$ 660 juta. Khusus APD, perkiraan nilai penjualannya sekitar US$ 100 juta. “Hingga Juni pencapaiannya sekitar US$ 50 juta, jadi optimistis target tercapai,” kata Anne.

Produksi APD ini membuat perusahaan menyerap tambahan 1.000 tenaga kerja selama pandemi, sehingga total pekerja Pan Brothers 40.000 orang. Selain untuk memenuhi produksi, penambahan pekerja untuk memenuhi protokol kesehatan yang mensyaratkan berjaga jarak selama proses produksi di pabrik.

“Kami menerapkan tambahan shift untuk menerapkan jaga jarak dan protokol kesehatan sehingga penyerapan tenaga kerja menjadi banyak,” kata Anne. 

Bukan hanya perusahaan besar, para Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) juga memberikan kontribusi menyediakan produk perlindungan diri dari Covid-19. Ola Harika Rachman, pendiri LittleThoughts Planner, yang menjalankan usahanya sebagai party planner selama 10 tahun, turut menyediakan face shield untuk para tenaga medis.

Awalnya Ola merasa cemas terhadap nasib para karyawan dan bisninya yang terancam selama pandemi. “Pekerjaan saya sebagai party planner tiap minggunya bisa mendekor tiga hingga empat kali pesta. Lalu ada pandemi, ini seperti mati perlahan-lahan,” kata Ola dalam webinar Katadata ‘Kisah Sukses UMKM: Adaptasi & Inovasi di Tengah Pandemi’. 

Di saat itu Ola tergerak untuk membantu tenaga medis Indonesia yang berjuang melawan Covid-19. “Terpikir, bagaimana saya membantu tenaga medis? Saat itu saya melihat kebutuhan APD tinggi banget,” kata Ola. Dia pun memilih face shield karena proses produksi yang mudah. 

Ola awalnya memproduksi face shield dengan cara menggalang donasi. “Saya mengumpulkan calon donatur dan diiklankan di sosial media. Ada paket berisi 100 face shield yang saya jual Rp 2,5 juta,” ujar Ola.

Hingga kini, sebanyak 30 ribu face shield buatan karyawan Ola menyebar ke beberapa rumah sakit dan puskesmas. “Bahkan sampai ke Wamena, Papua. Bayangkan betapa sulitnya kami kirim donasi ke sana. Tapi ada saja jalan, sehingga donasi itu sampai sana.” 

Pelaku usaha UMKM lainnya, Ardista Khairina, yang awalnya memproduksi tas, dompet dan aksesoris perempuan, beralih memproduksi masker. Pandemi corona yang memukul daya beli masyarakat membuat penjualan aksesoris perempuan menurun drastis.

Awalnya, Ardista membuat masker polos, kemudian menggantinya dengan masker bermotif. Ardista dan anak buahnya mampu memproduksi masker 1.500 - 2.000 potong per bulan dengan harga jual mulai dari Rp 19 hingga 25 ribu.

Dengan makin banyaknya produksi APD ini, Gugus Tugas Penanganan Covid-19 pun mendistribusikan beberapa alat kesehatan (alkes) ke beberapa wilayah. Hingga 10 Agustus 2020 pukul 21.30 WIB, masker bedah menjadi alat kesehatan yang didistribusikan terbanyak sebesar 23 juta unit.



Peneliti Berjibaku Ciptakan Ventilator

Pandemi corona menyadarkan kebergantungan impor ventilator yang sangat tinggi. Padahal ventilator merupakan alat krusial untuk menyelamatkan nyawa pasien corona dengan kondisi parah seperti infeksi yang dapat menyebabkan kerusakan paru dan gangguan pernapasan parah. Kondisi ini dialami terutama oleh kalangan usia lanjut dan yang memiliki penyakit penyerta.

Gugus Tugas Covid-19 menyebutkan ketersediaan alat tersebut 8,4 ribu unit per Maret 2020. Sementara kebutuhan ventilator untuk penanganan virus corona di Indonesia sekitar 29,9 ribu unit.

Hanya empat provinsi yang memiliki ventilator lebih dari setengah kebutuhan di wilayahnya, yaitu Kalimantan Utara (72,7 %), Bangka Belitung (69,8 %), DKI Jakarta (55,9 %), dan Sulawesi Barat (51,6 %). Sementara itu, ketersediaannya di provinsi-provinsi lain 20 – 30 %. Berikut grafik Databoks persediaan ventilator di tiap provinsi:

Ventilator bermanfaat untuk membantu pasien bernafas. Dokter akan melakukan inkubasi yakni memasukkan semacam selang (tabung endotrakeal) dari mulut ke tenggorokan bagi pasien yang kesulitan bernafas. Kemudian selang tersebut akan dihubungkan ke ventilator. Ventilator ini akan memompa udara dan menyalurkan oksigen ke paru-paru pasien.

Kondisi darurat akan kebutuhan ventilator mendorong anak bangsa berkreasi. Hingga awal Agustus, terdapat tiga merek yang mendapatkan izin edar dalam keadaan khusus dari Kementerian Kesehatan. Mereka yakni Vent-I Origin, BPPT3S-LEN Emergency Ventilator, dan DHARCOV-23S Ventilator Emergency Pneumatic.

Business Development Manager PT Rekacipta Inovasi ITB Aeni Azizah mengatakan produksi ventilator berawal dari kekhawatiran tim peneliti atas meningkatnya kasus corona yang tak dibarengi dengan jumlah ventilator. Ventilator yang beredar di Indonesia jenis advance impor dari Jerman yang selama ini sulit digunakan, bahkan oleh dokter paru. “Sedangkan pasien Covid-19 terus bertambah naik dan ventilator advance pun hanya tersedia 1-2 unit di fasilitas dan RS bagus,” kata dia. 

Tim peneliti dipimpin oleh Dr. Syarif Hidayat yang merupakan dosen Sekolah Teknik Elektro dan Informatika Institut Teknologi Bandung (STEI ITB) lantas berfokus membuat ventilator yang mudah dioperasikan. Tim merupakan gabungan antara ITB, Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (FK Unpad), dan Rumah Amal Salman. 

Tim menghasilkan ventilator berbasis Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) ditujukan untuk pasien yang masih dapat bernapas sendiri. Produksi ventilator ini merupakan yang pertama di Indonesia, sehingga di tahap awal para peneliti kesulitan dalam proses pembuatannya. Para peneliti juga terhambat mendapatkan komponen yang diimpor dari luar negeri.

BANTUAN ALAT VENTILATOR UNTUK RUMAH SAKIT (ANTARA FOTO/Didik Suhartono/foc.)

“Sebenarnya semua komponen dapat diproduksi di Indonesia, tetapi ada satu motor yang diimpor karena suaranya tak bising. Kami gunakan yang tidak bising agar tak mengganggu orang sakit,” ujar Aeni.

Produk Vent-I ini dijual seharga Rp 24 juta per unit dan ditargetkan hingga akhir tahun memproduksi 10 ribu unit. Pesanan ventilator saat ini berasal dari Corporate Social Responsibility (CSR) dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Vent-I telah memproduksi untuk Rumah Amal Salman seribu unit.

Produksi ventilator lainnya digagas Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bekerja sama dengan PT Len Industri menciptakan Emergency Ventilator. “Sebagai salah satu BUMN, [PT Len Industri] berupaya mempercepat proses penanggulangan,” kata Account Manager PT Len Industri Yudha Nur Wahyu Darmawan. 

Emergency Ventilator ditujukan untuk pasien dengan gejala tahap ketiga yang mulai kesulitan untuk bernapas. Produk ini dijual Rp 25 juta per unit dan ditargetkan produksi hingga 250 unit di akhir tahun. Senada dengan Vent-I, produk Emergency Ventilator mayoritas dipesan untuk CSR.

PT Len Industri tidak menutup kemungkinan pihaknya akan mengekspor produk ini. “Untuk peluang [ekspor] tentu ada, khususnya ke negara ketiga seperti Bangladesh, Sri Lanka, atau Filipina. Tetapi untuk sekarang berfokus pada pemenuhan dalam negeri dulu,” kata Yudha.

Penyumbang bahan: Agatha Lintang

Reporter: Rizky Alika, Tri Kurnia Yunianto