Pandemi Covid-19 berimbas ke ranah bisnis ritel. Ada perubahan paradigma di industri ritel karena gaya hidup konsumen yang berubah memasuki era new normal. Sejumlah perusahaan ritel besar menutup sebagian besar cabangnya karena turunnya pemasukan.

Masyarakat kini lebih memilih belanja secara daring atau online dibandingkan pergi ke mal.

 

"Perubahan ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain yang saling berdampak terhadap negara lainnya," ujar Direktur BukaPengadaan Bukalapak Hita Supranjaya, dalam Seminar Daring Business Leadership Series#5 bertajuk A New Paradigm In Retail Industry yang digelar Kafegama MM UGM, MM FEB UGM, serta MMSA UGM dan dimoderatori oleh Fenny Indah K, Regional Sales Manager East Indonesia PT. BMI MONIER, Sabtu (15/8).

Zara, misalnya, punya lebih dari 2.000 outlet mengalami penurunan bisnis dan berencana menutup lebih dari 1.000 outlet di dunia.

Meskipun demikian, bisnis retail sebenarnya bisa bertahan selama mau beradaptasi.  Adaptasi yang dimaksud adalah mengikuti sudut pandang konsumen yang mulai berubah dari wants atau keinginan menjadi needs atau kebutuhan.

Seperti yang dilakukan Nike, walaupun mengalami penurunan 30 persen setiap tahun tetapi tidak sebesar Adidas. Sebab, Nike punya platform online dan ini banyak mendukung Nike saat new normal.

Menurut Hita, orang tidak pernah menyangka di masa pandemi justru terjadi peningkatan bisnis yang sebelumnya tidak pernah dibayangkan. Salah satunya, groceriesfood delivery, dan barang elektronik. Penyebabnya, orang lebih memilih untuk di rumah saja, tetapi kebutuhan harian tetap tercukupi.

"Bisnis alat olahraga juga mengalami peningkatan, misal sepeda di Indonesia, dan ini juga terjadi di negara-negara lain," ucapnya.

Lantas, bagaimana cara bisnis ritel beradaptasi di tengah pandemi? Ia mengungkapkan transformasi digital menjadi kunci. Artinya, bisnis ritel harus merambah ke platform online.

Paradigma online shopping pun semakin meluas dan mendalam. Meluas yang bermakna bahwa produk yang biasanya tidak dipasarkan secara online kini mulai dijual online, sedangkan mendalam berarti konsumen semakin sering membeli barang secara online.

Ia mencontohkan, saat ini masyarakat mengatur skala prioritas kebutuhan. Tembakau atau rokok, perhiasan, langganan di pusat kebugaran di Indonesia mengalami penurunan konsumsi 30 persen berdasarkan survei AC Nielsen.

"Pandemi ini seperti blessing in disguise dan bisa jadi kesempatan baru untuk industri ritel berubah ke online dan menerapkan omni channel," tuturnya.

Presiden Komisaris Ayla Associates, Ayla Aldjufrie, mengatakan digital personal branding menjadi sangat penting di masa seperti sekarang. Digital personal branding mampu memberi warna yang kuat di dalam produk yang ditawarkan.

"Bisnis yang menang bukan yang kuat tetapi yang bisa beradaptasi," ujarnya

Ada sejumlah cara untuk membentuk digital personal branding bisnis ritel yang kuat, yakni membangun tim, memiliki nilai, serta konsistensi terhadap personal branding.

"Konsisten terhadap positioning, misal jualan baju harus jelas dengan detail target pasarnya, apakah untuk perempuan atau anak-anak," kata Ayla.

Personal branding juga berarti menciptakan rumus untuk memberi nilai sebuah produk. Misal, orang ingin berjualan pot dengan ciri khas pot berwarna hijau. Warna itu harus selalu ditampilkan. Untuk menambah nilai produk bisa dilakukan dengan membuat video berseri soal tanaman.

Menjual pot bukan berarti harus memproduksi sendiri. Orang bisa menjadi reseller dengan membeli via e-commerce dan dikemas ulang sesuai personal branding yang ingin ditampilkan.

"Bisnis saat ini sedang tenggelam, oleh karena itu kita harus terlihat dengan mengedepankan personal branding," ucapnya.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, Roy N. Mandey, memaparkan fakta yang dihadapi industri ritel di Indonesia selama pandemi Covid-19. Ia menyebutkan terjadi penurunan kunjungan ke toko ritel yang mengakibatkan transaksi berkurang.

Memasuki era new normal, mal dan pusat perbelanjaan mulai kembali beroperasi. Namun, tingkat kunjungan hanya 30 sampai 40 persen jika dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi

"Dari jumlah itu yang berbelanja pun hanya 10 sampai 20 persen," ujarnya.

Masyarakat lebih fokus untuk kebutuhan kesehatan dan kebutuhan pokok. Akibatnya, industri ritel berada di status survival mode.

Menurut Roy, survival mode tidak bisa hanya sekadar bertahan, melainkan juga harus berinovasi. Inovasi meliputi produk dan layanan.

Ia mencontohkan, saat ini banyak produk yang dibundling dengan corona. Kopi yang dijual dalam kemasan satu liter dianggap menjadi jawaban kebutuhan konsumen yang tidak bisa minum kopi di kafe karena kebijakan social distancing.

Ada pula industri garmen yang membuat pakaian nyaman untuk di rumah. Frozen food juga menawarkan hal yang sama, sehingga konsumen bisa menyetok kebutuhan makanan hariannya.

Dari segi pelayanan atau service, inovasi berarti memperluas pasar karena orang tidak lagi terpaku pada in store karena bisa membeli secara online.

"Industri ritel di Indonesia harus mulai memanfaatkan AI dan big data sehingga tetap memiliki kedekatan emosi dengan konsumen tanpa harus bertatap muka secara langsung," ucapnya.