Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyebutkan, 67% masyarakat terbebani dengan biaya dikeluarkan pada program pembelajaran daring atau belajar dari rumah selama pandemi corona. Kesimpulan ini didapat berdasarkan hasil survei asesmen publik tentang pendidikan online periode 5 - 8 Agustus 2020.
Manajer Kebijakan Publik SMRC Tati D. Wardi mengatakan, berdasarkan temuan survei tersebut 50% responden menjawab cukup berat, 17% responden menjawab sangat berat dan 26% sedikit berat. Sedangkan responden yang menjawab tidak berat hanya 6%, lalu tidak menjawab 1%.
"Warga yang punya anggota keluarga masih sekolah atau kuliah sekitar 47% mengeluarkan biaya internet lebih dari Rp 100 ribu per bulan," kata Tati dalam diskusi daring di Jakarta, Selasa (18/8).
Menurut dia, kondisi dan persepsi warga tentang pembelajaran online yakni 70% keluarga memilik anggota yang masih menempuh pendidikan menengah dan tinggi, 29% tidak memiliki dan 1% tidak menjawab. Dari jumlah itu, 87% di antaranya anggota keluarganya masih belajar online, 12% sudah tidak belajar online dan 1% tidak menjawab.
Untuk mengikuti aktivitas pembelajaran, Tati menyebut hampir semua responden atau 95,1% menggunakan handphone atau smartphone untuk belajar online. Sedangkan 25,5% menjawab menggunakan laptop, 3,8% komputer desktop dan 0,1% menggunakan perangkat lainnya.
"Belum semua warga memiliki akses internet dan yang memiliki akses internet hanya 76% sedangkan yang belum memiliki akses internet 24%," kata dia.
Adapun survei ini melibatkan 2.201 responden di seluruh Indonesia yang berusia 17 tahun ke atas dengan wawancara melalui sambungan telepon. Batas kesalahan atau margin of error dalam survei ini yakni sebesar 2,1% dengan teknik sampel dipilih secara acak atau stratified multistage random sampling.
Menanggapi hasil survei, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Kebukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Toto Suprayitno mengatakan, pihaknya telah melakukan relaksasi kebijakan.
Salah satunya berupa penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) yang bisa digunakan untuk membeli pulsa dan meringkas kurikulum yang diberikan pada peserta didik.
Ia pun menyadari bahwa selama ini infrastruktur pendidikan yang ada di Indonesia belum disiapkan untuk bertransformasi menuju pembelajaran digital.
Kondisi diperparah dengan adanya ketimpangan infrastruktur antara wilayah barat dan Timur. Sehingga kegagapan dan celah kelemahan dalam penerapan pendidikan daring semakin nyata.
"Kalau uang pulsa per bulan hanya Rp 50.000 - 100 ribu saya kira dana BOS cukup memadai untuk subsidi," kata dia.
Lebih lanjut, Toto menjelaskan, selain melalui dana bantuan tadi, Kemendikbud juga membuat program pembelajaran melalui siaran televisi agar disparitas infrastruktur dapat diatasi. Tak hanya itu, modul untuk guru, orang tua dan peserta didik pun diberikan agar terjadi komunikasi tiga arah dalam proses pembelajaran jaral jauh.
"Satu hikmah dalan pandemi ini bisa dikatakan orang tua menjadi guru itu susah, kesadaran untuk mendidik anak harus ditingkatkan," kata dia.
Data Kemendikbud sebelumnya mencatat, puluhan juta murid harus belajar di rumah dengan metode pembelajaran jarak jauh. Setidaknya terdapat 68.729.037 murid yang belajar di rumah.
Siswa Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiah/sederajat paling banyak mengikuti metode belajar di rumah. Ada 28.587.688 murid yang belajar jarak jaruh. Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah/sederajat menyusul dengan 13.086.424 murid yang belajar di rumah.
Detailnya, bisa dilihat dalam databoks berikut ini: