Sejumlah perusahaan turut berkomitmen mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan lingkungan atau Sustainable Development Goals/SDGs. CEO PT Rimba Makmur Utama Dharsono Hartono mengatakan, tidak perlu memiliki modal besar untuk memulai bisnis berkelanjutan,
"Yang dibutuhkan niat besar, bukan modal besar," kata Dharsono dalam webinar Katadata SAFE Forum 2020: Sustainable Innovation, Kamis (27/8).
Ia menjalankan bisnis konservasi hutan tanpa memiliki pengalaman terkait lahan. Meski demikian, hal tersebut bisa dilakukan dengan adanya kegigihan.
Rimba Makmur berdiri dengan tujuan mengurangi emisi sekaligus memberdayakan masyarakat. Salah satu bisnisnya adalah menjual sertifikasi kredit karbon kepada perusahaan.
Perdagangan karbon merupakan kompensasi yang diberikan oleh negara-negara industri maju (penghasil karbon) untuk membayar kerusakan lingkungan akibat asap karbondioksida (CO2) kepada negara pemilik hutan (penyerap karbon). Mekanisme perdagangan karbon telah menjadi solusi di beberapa negara dalam mengurangi emisi gas rumah kaca.
Dia pun mengungkapkan tantangan yang pernah dihadapi dalam menjalankan bisnis ini. Salah satunya, pengajuan izin usaha yang membutuhkan waktu selama 10 tahun. Kala itu, bisnis lingkungan menjadi hal yang baru di Indonesia.
Seiring berjalannya waktu, perusahaannya telah melakukan kegiatan ekonomi berkelanjutan di 34 desa. Selain itu, pihaknya juga telah mengurangi emisi setara 2 juta mobil per tahun, melindungi keanekaragaman hayati, dan menciptakan pembangunan ekonomi.
Rimba Makmur Utama juga memberdayakan dan membina petani setempat. Dharsono pun turut terjun ke masyarakat untuk melakukan interaksi secara transparan.
"Perusahaan kami ingin mengubah cara pikir di sektor lahan, di mana kami transparan melakukan kegiatan dengan masayarakat," ujar dia.
CEO dan Pendiri eFishery Gibran Huzaifah juga mengungkapkan hal serupa. Ia mengatakan, perusahaan menjalankan bisnis guna memberikan dampak secara ekonomi dan sosial.
Menurutnya, bisnis budidaya ikan ini awalnya ia lakukan dengan modal terbatas. Bisns ini pertama kali ia geluti pertama kali sejak berada di bangku kuliah.
"Pada kuliah tingkat III, saya bikin bisnis perikanan karena modal kecil. Itu membuka perpsektif saya dan memulai bisnis di bidang fishery," ujar Gibran.
Menurutnya, sektor perikanan memiliki potensi besar. Gibran mencatat, Indonesia memiliki 3,5 juta pembudidaya ikan dengan total 1,5 juta rumah tangga yang memiliki usaha perikanan. Selain itu, ada 30,2 juta kolam di Indonesia.
Meski begitu, dia menjelaskan ada beberapa kendalam yang dihadapi pembudidaya. Seperti, para pembudidaya memberikan pakan dengan cara yang tidak efisien sehingga biaya pakan dapat mencapai 70-90% dari total ongkos produksi.
Alhasil, dia pun mendirikan mesin untuk memberi pakan secara otomatis. Dengan demikian, ikan dapat tumbuh sebulan lebih cepat dibandingkan dengan pemberian pakan dengan cara manual. Selain itu, panen ikan dapat berlangsung hingga enam kali dalam setahun.
"Pendapatan pembudidaya pun ikut naik," ujar dia.
Selain itu, ia juga menggunakan teknologi Internet of Things (IoT). Dengan langkah tersebut, para pembudidaya ikan memiliki data terkini terkait jumlah ikan, waktu panen, pemberian waktu pakan, dan lainnya.
Efek lebih lanjutnya, para pembudidaya ikan dapat memasarkan ikan dengan lebih mudah serta mendapatkan akses pembiayaan.
"Bahkan ada pembudidaya yang bisa menyekolahkan anaknya di universitas ternama. Anaknya pun turut membantu kembangkan bisnis," katanya.
Selain berpotensi dipasarkan di dalam negeri, produk perikanan dalam negeri juga berpotensi diekspor.
Volume ekspor perikanan budidaya pada semester I 2019 turun 0,09% menjadi 87.971 ton dari semester I tahun sebelumnya. Namun, nilainya tumbuh 6,27% menjadi US$ 145,56 juta.
Ekspor perikanan budidaya terbesar periode Januari-Juni 2019 berasal dari rumput laut dan ganggang dengan nilai US$ 92 juta atau sekitar 63% dari total.