Indonesia dinilai perlu memperbaiki tata kelola pendanaan riset dan inovasi untuk mengoptimalkan peran dari sektor tersebut. Terutama, peranannya dalam proses pemulihan pascapandemi dan untuk mengawal pembangunan di masa depan.
Hal ini tertuang dalam kajian “Making Indonesia’s Research and Development Better: Stakeholder Ideas and International Best Practices” yang dilakukan Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) bersama dengan Australian National University (ANU).
Kajian tersebut disusun oleh Co-Founder dan Penasihat CIPG Irsan Pawennei, Peneliti CIPG Andhina Ratri dan Nur Huda, serta Profesor Hukum dan Regulasi Australian National University (ANU) Veronica Taylor.
"Permasalahan di Indonesia selain jumlah (anggaran) masih jauh, juga tata kelola pendanaannya sendiri yang tidak dimanfaatkan dengan baik,” ujar Andhina Ratri bersama tim penyusun saat melakukan wawancara daring dengan Tim Riset dan Publikasi Katadata pada awal November 2020.
Menurut tim penyusun, pengalokasian anggaran riset masih didominasi oleh pemerintah. Alhasil pendanaannya bersifat institusional sehingga tidak mendorong kompetisi. Anggarannya pun terbilang kecil untuk ukuran negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income).
Sebagai perbandingan, menurut Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO), belanja riset dan pengembangan per pendapatan domestik bruto (GERD) Indonesia pada 2017 sebesar 0,2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Sedangkan Thailand sebesar 0,8 persen dan Singapura sebesar 2,1 persen.
Pada 2019 GERD Indonesia hanya naik tipis ke angka 0,3 persen dan belum mencapai angka minimal 1 persen. Padahal dalam sasaran periode lima tahunan yang dikeluarkan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Puspiptek LIPI) target GERD terhadap PDB pada 2020 sebesar 0,84 persen.
Pemanfaatan dana juga tidak sepenuhnya untuk kegiatan riset. Porsinya tidak sampai 50 persen pada 2019. Sementara proporsi pendanaan riset secara kompetitif yang mendorong prinsip bahwa ide riset terbaik yang didanai pun masih kecil proporsinya.
Oleh karena itu, kajian tersebut memberikan sejumlah rekomendasi. Termasuk perbaikan tata kelola untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pendanaan melalui regulasi yang tepat. Namun, sebelum membenahi tata kelola pendanaan, terdapat beberapa hal mendasar yang perlu diperbaiki.
Pemerintah perlu mengadopsi secara tepat definisi penelitian dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk memastikan bahwa investasi yang dilakukan memang untuk kegiatan riset.
Hal tersebut penting untuk diperhatikan sebab dari sejumlah studi terdahulu terungkap, banyak ‘riset’ yang diproduksi di Indonesia namun bukan riset dalam arti sebenarnya. Sebagai contoh, di Australia, suatu kegiatan dinyatakan memenuhi syarat sebagai kegiatan riset dan pengembangan (R&D) jika memenuhi salah satu dari tiga bentuk riset dasar, riset terapan, atau pengembangan eksperimen.
Namun, untuk dapat dinyatakan sebagai riset harus memenuhi ketentuan, antara lain bertujuan memperoleh temuan baru serta berdasarkan konsep dan hipotesis yang orisinal. Selain itu, belum memiliki kepastian tentang hasil akhir, terencana dan sudah dianggarkan, serta mengarah kepada hasil yang memiliki kemungkinan untuk diproduksi ulang.
Selanjutnya, Indonesia perlu memetakan tantangan terbesar pembangunan di masa depan serta bagaimana riset dan inovasi dapat memberikan solusinya. Hal ini berkaitan erat dengan misi penelitian (research mission). Indonesia memang sudah memiliki Prioritas Riset Nasional (PRN) namun PRN masih berfokus pada produk unggulan daripada menangani masalah nyata.
Menurut Veronica, dalam menetapkan dan meninjau misi riset nasional, badan penasihat yang baru harus belajar dan memahami bidang-bidang prioritas riset nasional. Utamanya dari negara-negara dengan ekonomi berbasis pengetahuan yang sudah matang.
“Ini adalah cara mempercepat masuknya Indonesia ke dalam jaringan riset internasional dan membuka kesempatan untuk mengakses pendanaan eksternal,” ujarnya
Hal tersebut penting mengingat misi riset nasional Indonesia bersinggungan dengan misi riset yang didanai oleh pemerintah negara lain, badan filantropi, maupun industri lain.
Ia menambahkan, setelah menentukan misi penelitian, perlu dirumuskan skema pendanaan yang kompetitif dan berbasis keunggulan ilmiah (scientific excellence). Penerapannya harus mampu membuka kesempatan bagi peneliti unggul, bahkan yang bekerja di lembaga penelitian nonpemerintah dan nonpusat, sehingga dapat menghasilkan pemerataan kualitas penelitian.
Strateginya adalah memberikan penghargaan berupa insentif pendanaan serta memampukan dan mendorong kolaborasi. Insentif untuk penelitian kolaboratif sebaiknya lebih besar daripada penelitian yang dilakukan perorangan.
Merujuk pada hasil kajian, berbagai catatan untuk mendorong pendanaan riset yang efektif perlu ditopang dengan merancang peta jalan (roadmap) untuk badan pengelola dan pendanaan penelitian. Selain itu, sistem evaluasi tata kelola penelitian juga perlu dibentuk.
“Jika tidak ada perubahan kebijakan dan tidak mulai melakukan langkah-langkah tersebut, kita tidak akan bergerak kemana-mana,” kata Veronica.
Upaya Pemerintah
Pembentukan Konsorsium Riset dan Inovasi Penanganan Covid-19 menjadi titik balik penguatan riset dan inovasi di Tanah Air. Kolaborasi lintas sektor ini telah menghasilkan lebih dari 60 produk inovasi.
Menurut Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/ Kepala BRIN) Bambang Brodjonegoro, kunci utama pemulihan adalah mencari keseimbangan antara penanganan kesehatan dengan pemulihan ekonomi.
“Terkait keseimbangan itu adalah (fokus pada) kesehatannya dan untuk pemulihan ekonomi yang terus kita dorong adalah transformasi digital,” ujar Bambang saat melakukan wawancara daring dengan Tim Riset dan Publikasi Katadata, Jumat (11/12).
Pada 2021, ia menambahkan, pemerintah juga akan melanjutkan fokus Prioritas Riset Nasional (PRN) yang sempat tertunda akibat pandemi. Kegiatan tersebut ditopang anggaran Kemenristek/BRIN senilai Rp 2,7 triliun. Kegiatan riset juga akan dibiayai dari dana abadi riset ketika aturan yang menaunginya sudah disahkan.
Direktur Harmonisasi Peraturan Penganggaran Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Didik Kusnaini mengakui, sebagian besar porsi pendanaan riset masih bersumber dari pemerintah yakni sekitar 80 persen. Oleh karenanya berbagai upaya untuk mendorong keterlibatan swasta.
“Kita perlu menstimulasi swasta agar lebih kompetitif,” ujar Didik saat wawancara daring dengan Tim Riset dan Publikasi Katadata pada pertengahan November.
Selain ikut mendorong implementasi regulasi dana abadi riset, upaya yang dilakukan Kemenkeu ialah menjalankan program super tax deduction. Skema pajak ini memungkinan pengurangan penghasilan bruto maksimal 300 persen dari biaya yang dikeluarkan untuk penelitian.
Upaya lain yang sedang didorong pemerintah untuk fleksibilitas pemanfaatan anggaran penelitian ialah pendaan yang bersifat multiyear. Ini memungkinkan pendanaan untuk kegiatan penelitian lebih dari satu tahun.