Izin darurat vaksin Covid-19 bikinan Sinovac hingga saat ini masih menunggu izin darurat Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Meski demikian, pemerintah telah menargetkan vaksinasi akan dimulai pekan depan.
Pakar kesehatan masyarakat juga menilai izin darurat terlalu cepat bila diterbitkan pada 1-2 pekan ini. Menurut epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, mengatakan perlu ada laporan awal uji klinis di Indonesia sebelum izin terbit. Tanpa hal itu, vaksinasi dianggap berbahaya.
Ia pun menilai, laporan awal semestinya baru diterbitkan pada akhir atau pertengahan Januari. Setelah itu, data tersebut masih perlu dikaji oleh BPOM. "Riset vaksin harus dipimpin oleh sains, tidak boleh oleh politik, ekonomi, karena ini menyangkut manusia," kata Dicky kepada Katadata.co.id, Rabu (6/1).
Pengujian vaksin ini dilakukan Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran pada 1.620 sampel di Bandung, Jawa Barat. Dicky menilai jumlah tersebut telah memadai lantaran bisa dikompilasi dengan data berbagai negara.
Indonesia memang bukan satu-satunya negara yang menggelar pengujian vaksin Sinovac. Uji klinis juga dilakukan di Turki dengan jumlah 7.000 sampel. Adapun pengujian serupa di Brasil dilakukan kepada 9.000 relawan.
Adapun hasil pengujian di Turki menunjukkan efikasi vaksin Sinovac mencapai angka 91,25%. Meski demikian Dicky menjelaskan pengujian perlu memastikan tiga jenis keandalan yang perlu diketahui. Pertama, mengetahui seberapa besar vaksin dapat melindungi dari penyakit.
Kedua, efikasi terkait progress penyakit untuk mengetahui tingkat gejala yang dialami oleh penderita Covid-19 yang telah menerima vaksin. Ketiga, besaran efikasi vaksin untuk mencegah penularan. "Jadi kalau efiasi vaksin tidak ada, vaksin hanya mempunyai fungsi proteksi, tapi tetap bisa menular ke orang lain," ujar dia.
Oleh karena itu, Dicky mengingatkan pemerintah agar pemberian izin EUA tidak mengabaikan atau mempercepat prosedur. Bila hal itu terjadi, ia khawatir ada ketidakpercayaan vaksin Covid-19 di masyarakat.
Berbeda dengan Dicky, Epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Pandu Riono menganggap jumlah sampel uji klinis sebanyak 1.620 orang terlalu sedikit.
Menurutnya, pengujian yang dilakukan dalam waktu singkat membutuhkan sampel di atas 10 ribu orang. "Butuh sampel besar karena pengamatan cuma enam bulan," kata Pandu saat dihubungi Katadata.co.id, Rabu (6/1).
Meski demikian Pandu khawatir hasil uji klinis RI tidak bisa digabungkan dengan uji klinis di Brasil dan Turki lantaran perlu kesepakatan dan kesamaan protokol. Selain itu, ia juga menyayangkan uji klinis hanya dilakukan di Bandung, padahal masyarakat Indonesia bersifat heterogen.
Melihat situasi tersebut, Pandu menilai efikasi vaksin belum bisa dilaporkan kepada BPOM. Semestinya, laporan oleh tim uji klinis baru sebatas kadar antibodi yang dapat diketahui melalui uji klinis fase 1 dan 2.
Adapun, informasi terkait kadar antibodi belum menjamin penerima vaksin tidak akan sakit. Oleh karena itu, perlu uji klinis fase 3 dengan jumlah sampel yang memadai untuk mengetahui efikasi vaksin. "Jadi BPOM harus menunggu hasil," ujar dia.
Presiden Joko Widodo pada Rabu (6/1) berharap izin darurat dapat dikeluarkan pada pekan ini. Adapun BPOM, meski belum merespons permintaan Jokowi, sempat menyatakan izin penggunaan darurat masih diproses.
Kepala BPOM Penny Lukito mengatakan dari evaluasi awal. vaksin tersebut dibuat dari bahan-bahan yang aman bagi manusia. "BPOM dapat memastikan bahwa vaksin ini tidak mengandung bahan-bahan yang berbahaya," kata Penny kepada wartawan di Jakarta, Selasa (5/1).
Adapun Majelis Ulama Indonesua (MUI) menyatakan fatwa terkait kehalalan vaksin virus corona bakal terbit dalam waktu dekat. Sinovac telah memberikan lampiran bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan vaksin. Tim auditor interim MUI pun telah mengaudit dan memverifikasi langsung vaksin tersebut.
"Pada Oktober 2020 sudah dilaksanakan proses itu, dan sekarang dalam tahap pematangan laporannya kata Ketua MUI bidang Halal dan Ekonomi Syariah Sholahuddin Al-Aiyub.