Uji Klinis Vaksin Nusantara Tak Izin BPOM, Sponsor Tanggung Risikonya

ANTARA FOTO/M Agung Rajasa/rwa.
Vaksinator mengambil cairan vaksin COVID-19 untuk disuntikkan kepada warga penerima vaksin di Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Rabu (14/4/2021).
Penulis: Lavinda
17/4/2021, 17.24 WIB

Penelitian vaksin Nusantara terus dilakukan meski tanpa izin Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Dalam hal ini, para sponsor penelitian harus bertanggung jawab terhadap risiko yang muncul dalam proses uji klinis.

Ahli Biokimia dan Biologi Molekuler Universitas Adelaide, Australia, Ines Atmosukarto mengatakan, jika muncul kejadian yang tak diinginkan (KDP) dalam proses uji klinis, maka lazimnya pertanggungjawaban ada di pihak sponsor penelitian. Hal itu disampaikan Ines berdasarkan pengalamannya ketika menjalankan uji klinis di Australia.

“Sebagai sponsor uji klinis, perusahaan sponsor harus memiliki jaminan khusus untuk mengcover uji klinis ini,” ujar Ines dalam konferensi pers dukungan para tokoh terhadap BPOM secara virtual, Sabtu (17/4).

Menurut dia, melakukan tahap uji klinis tanpa terlebih dulu memperoleh izin dari lembaga pengawas adalah hal yang sia-sia dan hanya membuang uang. Pasalnya, pada akhirnya pihak yang memberi izin edar produk tersebut adalah BPOM.

“Kalau saya tidak akan terpikir untuk melakukan uji klinis kalau memang tidak diizinkan oleh lembaga resmi, dalam hal ini BPOM karena pada akhirnya, yang memberi izin untuk beredarnya obat itu ya BPOM juga,” katanya.

Pada 22 Oktober 2020, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan dan PT Rama Emerald Multi Sukses menandatangani perjanjian kerja sama uji klinis vaksin sel dendritik SARS Cov-2 yang disaksikan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.

Teknologi pengembangan vaksin yang dipilih saat itu berbasis personalized dan dikenal dengan istilah dendritic cells vaccines. Salah satu lembaga yang sedang mengembangkan vaksin dengan menggunakan metode ini adalah AIVITA Biomedical Inc. yang berlokasi di Amerika Serikat.

Dalam keterangan tertulis di laman Litbang Kemenkes, perusahaan asal Negeri Paman Sam itu telah memberikan lisensi kepada PT. Rama Emerald Multi Sukses untuk mengembangkan vaksin di Indonesia. Hingga saat ini, sedang memasuki uji klinis fase II dan III.

Profesor di bidang kedokteran Soedjatmiko menambahkan, prosedur uji klinik vaksin untuk Program Doktoral S3 bahkan sama ketatnya dengan yang dilakukan BPOM. Beberapa prosedur yang perlu dilakukan antara lain, harus lulus kaji etik dari badan kaji etik yang kompeten, harus ada protokol jelas dan rinci, aturan mengenai prosedur, dan hal-hal yang diukur.

“Semua proses penelitian harus konsisten pada protokol tersebut. Setiap ada penyimpangan dari protokol bisa menyebabkan penelitian dihentikan sementara untuk mendapat kajian,” ujarnya dalam konferensi pers yang sama, Sabtu (17/4).

Sebelumnya, Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito mengatakan vaksin Nusantara belum dapat lanjut ke uji klinis karena tidak memenuhi empat syarat utama. Proof of concept vaksin Nusantara belum terpenuhi. Antigen yang digunakan tidak memenuhi pharmaceutical grade. Hasil uji klinis fase pertama, terkait keamanan, efektivitas, atau kemampuan meningkatkan antibodi juga belum meyakinkan.

BPOM melaporkan 71,4% relawan uji vaksin Nusantara mengalami kejadian tak diinginkan (KTD). Sebanyak 20 dari 28 subjek mengalami hal tersebut, meskipun dalam grade satu dan dua. Kejadian tak diinginkan itu adalah nyeri lokal, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, penebalan, kemerahan, gatal, petechiae (ruam pada kulit), lemas, mual, demam, batuk, pilek, dan gatal.

Lalu, terdapat enam relawan dengan KTD grade tiga. Satu relawan mengalami hiperneatremi atau konsentrasi natrium yang tinggi dalam darah. Gejala ini seperti orang kekurangan air minum. “Tiga subjek mengalami peningkatan kolesterol,” tulis laporan yang diterima BBC News.