Jakarta, 21 April 2021: CDP, organisasi nirlaba internasional yang bergerak di bidang lingkungan hidup, meluncurkan laporannya hari ini, ‘Seberapa Hijaukah Bahan Bakar Nabati (Biofuel)? Memahami risiko dan lanskap kebijakan di Indonesia’, yang bertujuan menilai evolusi kebijakan bahan bakar nabati terkait produksi sawit di Indonesia. Laporan ini diluncurkan dalam webinar rangkaian Earth Day Forum 2021: Menuju Biodiesel 40: Risiko dan Tantangan.
Pemerintah Indonesia berambisi untuk untuk menyeimbangkan kelestarian lingkungan hidup dengan kesejahteraan sosial dan pertumbuhan ekonomi yang diuraikan dalam Rencana Pertumbuhan Ekonomi Hijau BAPPENAS. Rencana ini juga mencakup komitmen untuk menangani deforestasi, yang dilihat sebagai salah satu tantangan utama dari aspek lingkungan dan sosial yang dihadapi Indonesia. Sejalan dengan rencana ini, pemerintah juga berupaya untuk mengurangi emisi karbon dengan mengurangi konsumsi bahan bakar fosil yang diimpor. Sejak tahun 2006, pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk meningkatkan konsumsi bahan bakar nabati, terutama bahan bakar nabati berbasis minyak sawit.
Namun, isu biofuel tidak dapat dipisahkan dengan tantangan terkait dengan minyak sawit, yang dilihat sebagai salah satu penyebab berkurangnya luasan hutan di Indonesia. Sebagai komoditas perkebunan, sawit berperan sangat penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Namun jika biodiesel berbasis sawit dicanangkan untuk menggantikan konsumsi energi bahan bakar fosil sebagai bahan bakar alternatif ‘hijau’, maka yang menjadi perhatian utamanya adalah aspek kelestariannya.
Dalam telaah kebijakan bahan bakar nabati (biofuel) di Indonesia yang dikeluarkan oleh CDP, menemukan bahwa kebijakan biofuel yang ada saat ini, dapat menyebabkan peningkatan tekanan terhadap hutan di Indonesia. Dengan lemahnya kewajiban sertifikasi, adanya subsidi untuk biofuel serta dorongan yang agresif untuk meningkatkan produksi minyak sawit, dapat membuat kondisi yang menyebabkan para produsen minyak sawit untuk mempertahankan sistem bisnisnya seperti biasa, daripada menginvestasikan pada inovasi untuk meningkatkan produksi yang lebih berkelanjutan, seperti meningkatkan produktivitas lahan.
Risiko-risiko lingkungan yang muncul akibat kerangka peraturan ini membuat perluasan bahan bakar nabati berjalan melenceng dari target yang telah ditetapkan Pemerintah. Padahal target tersebut bertujuan untuk mengurangi deforestasi dan emisi, sesuai dengan Perjanjian Paris. Sekitar 80% dari emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang ada dalam rantai pasok biodiesel berasal dari perkebunan. Dengan demikian, sejumlah besar GRK yang dikeluarkan tersebut berpotensi untuk melampaui perkiraan penghematan emisi mana pun.
Kecuali jika biodiesel didapatkan dari sumber-sumber yang bebas deforestasi, maka status ‘bahan bakar hijau’ yang diklaim adalah hal yang menyesatkan. Agar bahan bakar nabati Indonesia dapat menjadi lestari dan dikategorikan sebagai sumber energi terbarukan, produksinya membutuhkan kebijakan-kebijakan yang logis dan konsisten dari sektor-sektor pemerintahan disertai penerapan perlindungan hutan yang ketat di dalam rantai pasok bahan mentah. Keterbukaan terkait dengan aspek-aspek lingkungan dalam produksi biodiesel adalah salah satu dari beberapa tindakan yang dibutuhkan untuk mencapai rantai pasok biodiesel yang bebas deforestasi.
Sehubungan dengan ini, CDP menutup laporannya dengan rekomendasi-rekomendasi kebijakan untuk membantu meningkatkan penjagaan lingkungan bagi produksi sawit, meningkatkan pengungkapan korporat dalam hal lingkungan terkait rantai pasok biodiesel, dan meningkatkan dialog dan kerja sama publik-swasta.
Pratima Divgi, Direktur CDP untuk Hong Kong, Asia Tenggara, Australia & Selandia Baru mengatakan, “Untuk menyeimbangkan kesehatan fiskal dan lingkungan hidup di Indonesia, produksi dan konsumsi biodiesel haruslah berkelanjutan. Penerapan transparansi yang kuat untuk melacak dan memastikan sumber, produksi dan konsumsi biodiesel yang berkelanjutan perlu menjadi prioritas agar dapat sejalan serta mendukung ambisi kebijakan yang ada.”