- Aliran uang seiring pergerakan orang saat mudik lebaran sangat besar.
- Tak hanya untuk biaya transportasi, masyarakat juga lebih banyak membelanjakan THR saat mudik.
- Di tengah pandemi yang tak kunjung berakhir, masyarakat cenderung menghemat pengeluaran.
Mudik lebaran menjadi kebiasaan Kartika sejak merantau ke Jakarta, delapan tahun lalu. Baru dua tahun terakhir ia tak pulang ke Madiun, Jawa Timur karena pandemi Covid-19.
“Tahun lalu rasanya lebih berat karena itu pertama kalinya saya tidak mudik,” kata Kartika, Rabu (12/5).
Saat itu, praktis ia menghabiskan lebaran dan sebagian besar Ramadan di kamar saja. Ia tak mau mengambil risiko. Selain pemerintah melarang mudik, perusahaan tempatnya bekerja juga mengimbau seluruh karyawan untuk taat aturan.
Tahun ini ia lebih santai. Memasuki tahun kedua pandemi, ia mulai terbiasa menjalani ‘new normal’. Sesekali ia berbelanja ke supermarket atau sekadar mencuci mata ke mal atau pusat perbelanjaan. “Saya kirim sebagian uang THR (Tunjangan Hari Raya) ke kampung, sebagian untuk belanja, sebagian lagi ditabung,” ujarnya.
Kartika tentu tak sendiri. Banyak perantau tak bisa mudik ke kampung halaman karena pemerintah kembali melarang mudik pada 6-17 Mei 2021.
Bagaimanapun, sebagian masyarakat memilih untuk tetap nekat mudik. Survei Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mencatat masih ada 7% responden yang ingin mudik, meski sudah dilarang. “Itu masih cukup banyak, setara 18 juta orang,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam sebuah diskusi virtual, Rabu (5/5) lalu.
Sementara jika tidak ada larangan, sebanyak 33% masyarakat akan mudik. Kondisi ini tentu dikhawatirkan akan meningkatkan kurva penularan Covid-19.
Simak Databoks berikut:
Dampak Ekonomi Larangan Mudik
Mudik merupakan fenomena yang khas terjadi menjelang Hari Raya Idul Fitri. Masyarakat yang merantau di perkotaan biasanya akan berbondong-bondong pulang ke kampung halaman untuk bersilaturahmi dengan sanak saudara.
Pergerakan orang dalam jumlah besar secara tak langsung turut menggerakkan roda perekonomian di daerah. Sebab, selain mengeluarkan biaya transportasi, para pemudik juga kerap mengisi waktu dengan berwisata bersama keluarga. Belum lagi, sebagian pemudik juga menunaikan zakat dan membagikan uang kepada sanak saudara di daerah asalnya.
Karena itu, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut larangan mudik tahun ini bakal kembali menekan tingkat konsumsi masyarakat dan ekonomi secara nasional. Padahal, konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50% terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB).
Kepala BPS Suhariyanto menyatakan, ketika Lebaran seharusnya ada kenaikan konsumsi pakaian, transportasi, hotel, dan restoran. Namun, konsumsi masyarakat terhadap sektor-sektor tersebut akan berkurang karena larangan mudik.
"Jadi larangan mudik berdampak signifikan ke konsumsi rumah tangga. Rekreasi, hotel, restoran, yang kalau dijumlahkan I ke konsumsi rumah tangga hampir 25%," ujarnya dalam konferensi pers, Rabu (5/5) lalu.
Diketahui, konsumsi rumah tangga tercatat minus 2,23% pada kuartal I 2021. Realisasi ini berbanding terbalik dengan periode yang sama tahun lalu, sebelum pandemi Covid-19, yang tumbuh 2,83%.
Kontraksi konsumsi rumah tangga menjadi salah satu penyebab ekonomi Indonesia masih berada di jurang resesi hingga kuartal I 2021. Ekonomi domestik tercatat minus 0,74 persen pada tiga bulan pertama tahun ini.
Hal senada diungkapkan oleh Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira. Menurutnya, kalau pun terjadi peningkatan konsumsi, jumlahnya tak akan sama atau lebih besar dari periode sama sebelum pandemi covid-19. Sebab, aktivitas pariwisata dan berbelanja yang biasanya terjadi saat masyarakat mudik ke kampung halaman tak dapat dilakukan dengan leluasa.
Ia mencontohkan rata-rata pemudik bisa menghabiskan Rp 5-10 juta di kampung halaman. Dengan asumsi 20 juta orang melakukan mudik tiap tahunnya, maka potensi aliran uang ke daerah yang hilang akibat larangan mudik bisa mencapai Rp 200 triliun.
Di sisi lain, arus uang ke daerah yang biasanya lebih deras karena adanya THR juga bisa tersumbat. Sebab, dengan kondisi pandemi yang belum berakhir, masyarakat cenderung menabung uangnya. "Uang beredar itu sekitar 10% pertumbuhannya saat mudik. Sebagian itu masuk ke daerah," ujarnya.
Bagaimanapun, Bhima tak memungkiri larangan mudik penting diberlakukan mengingat pandemi Covid-19 belum berakhir dan program vaksinasi masih berjalan lambat.
Simak Databoks berikut: