Seperti yang kita ketahui, pada 30 Oktober 2021 lalu, presiden Perancis Emmanuel Macron menggunakan Bahasa Indonesia dalam cuitan di sosial medianya bersamaan dengan foto bersama Presiden Jokowi. Kita sebagai warga negara Indonesia harus bangga menggunakan bahasa Indonesia.
Sejarah bahasa Indonesia memiliki perjalanan yang panjang dan lahir sejak 28 Oktober 1928. Pada saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam Konggres Pemuda, yang melakukan ikrar, yang dikenal dengan nama Sumpah Pemuda. Isi ikrar tersebut antara lain:
(1) bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia,
(2) berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan
(3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Dari salah satu unsur dalam Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.
Kedudukan bahasa Indonesia telah dikukuhkan sebagai bahasa resmi negara pada 18 Agustus 1945, seiring dengan penetapan Undang-undang (UU) Dasar 1945 sebagai UU Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
Akar Bahasa Indonesia
Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.
Bahasa Melayu sendiri mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka pada 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi).
Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.
Di era kekuasaan Sriwijaya, penggunaan bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara.
Dilansir dari sejarawan asal Cina I-Tsing, yang sempat belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19), yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.
Dalam sejarah bahasa Indonesia juga didorong oleh proses bahasa Melayu yang nampak makin jelas dari peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.
Pada dasarnya, persebaran bahasa Melayu ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.
Sejarah bahasa Indonesia komunikasi antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).
Peranan kegiatan politik, perdagangan, surat kabar, dan majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Untuk tetap menjaga eksistensi bahasa Indonesia, telah diadakan 10 kali kongres bahasa Indonesia yang bertujuan untuk memlihara dan menjaga eksistensi bahasa Indonesia di dalam perkembangan modernisasi dan globalisasi.