Peran Kunci Komunitas dalam Proses Knowledge-to-Policy di Masa Pandemi

Katadata
Penulis: Maidian Reviani - Tim Publikasi Katadata
23/3/2022, 16.48 WIB

Jakarta (23/03) – Berbagai kajian tentang knowledge-to-policy (K2P) sering dimulai dari perspektif bahwa ada kesenjangan antara pengetahuan dan praktik, dan cenderung menggali pertanyaan "bagaimana penggunaan hasil penelitian (knowledge utilization) dapat ditingkatkan dalam proses penyusunan kebijakan?" dan "dalam keadaan apa hasil penelitian benar-benar digunakan?"

Proses pengetahuan-ke-kebijakan tentu memiliki tantangan tersendiri seperti riset yang relevan dan advokasi yang berkelanjutan. Para produsen pengetahuan seperti think tanks memiliki peranan besar dalam menghasilkan informasi yang tepat sasaran dan strategis. Untuk membahas lebih lanjut mengenai kolaborasi antar sektor multidisiplin perlu lebih didorong untuk memastikan proses formulasi dari pengetahuan-ke-kebijakan, hingga implementasinya dapat berjalan dengan efektif, Knowledge Sector Initiative (KSI) menyelenggarakan webinar berkonsep Ruang Bincang dengan tema “Pelibatan Pemerintah Indonesia dan Komunitas dalam Knowledge to Policy Selama Pandemi”.

Webinar ini merupakan Ruang Bincang ke-enam dari rangkaian Konferensi Knowledge-to-Policy (K2P) yang merupakan salah satu rangkaian kegiatan penutupan KSI untuk menampilkan produk pengetahuan dan pencapaian mitra KSI. Konferensi K2P menghadirkan 9 sesi Ruang Bincang dan 6 sesi Titik Temu dengan 86 pembicara dan penanggap. Konferensi ini menjadi wadah pertemuan dan pertukaran diskusi untuk menekankan pentingnya integrasi pengetahuan ke kebijakan untuk menghasilkan kebijakan yang tepat sasaran serta pentingnya lembaga think tank sebagai aktor dalam proses penyusunan kebijakan yang lebih inklusif dan berbasis bukti di Indonesia.

Hadir sebagai penanggap, Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Satryo Soemantri Brodjonegoro, yang memberikan tanggapan terkait prinsip-prinsip K2P dan menarik pembelajaran atas proses penggunaan pengetahuan untuk mempengaruhi kebijakan.

“Perlu intervensi mengenai kesadaran akan pentingnya science. Kemudian, setelah science (sudah dianggap) penting, perlu ada intervensi agar masyarakat paham tentang literasi science. Intervensi bukan hanya untuk masyarakat umum tapi justru untuk para pemimpin, pembuat kebijakan. Ketidakpahaman mengenai science dan literasi science yang rendah mengakibatkan science dianggap tidak ada manfaatnya sehingga tidak punya kekuatan dalam membuat kebijakan.” kata Satryo.

Ia menambahkan, bahwa dalam membuat kebijakan perlu mengunakan berbagai macam sumber. “Baik bersifat ilmiah atau scientific, maupun yang mempertimbangkan aspek demografi karena rakyatlah yang menjalankan kebijakan. Pembuatan kebijakan juga perlu mengedepankan hak asasi manusia agar mengena dan sesuai dengan masyarakat,” ujar Satryo.

Lebih lanjut, Professor of Law and Regulation, School of Regulation and Global Governance, Australian National University (ANU), Veronica Taylor, memberikan tanggapan terkait pembelajaran internasional dalam mendorong perbaikan ekosistem riset dan inovasi.

“Indonesia adalah negara besar dengan sumber daya yang beranekaragam. Namun, hasil pembangunannya tidak merata. Di Australia, kami mengalami hal yang sama. Sumber-sumber daya ini harus bisa sama rata secara nasional sehingga kapasitas nasional bisa terangkat bersama. Di Australia, ketika sebuah lembaga menerima pendanaan riset, maka lembaga tersebut harus bekerjasama dengan daerah setempat di tempat kajian. Pemerintah harus bisa membagi berdasarkan karakter geografi. Indonesia punya talent yang bagus. Ini dapat diatur sehingga mitra kerja pemerintah bisa sama rata dan bisa berkolaborasi lebih baik.” kata Veronica.

Sebelumnya, Wakil Direktur Eksekutif, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Medelina K Hendytio, memaparkan bagaimana pengetahuan dan data digunakan oleh CSIS  sesuai perannya sebagai think tank  dalam mendukung Pemerintah menangani Pandemi COVID-19 terutama dalam hal mendorong masyarakat untuk patuh akan protokol kesehatan. Sementara itu, peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Miftah Fadhli, menjelaskan bagaimana ELSAM menggunakan pendekatan K2P dalam riset dan advokasi yang digunakan ELSAM dalam mendorong perubahan kebijakan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) dan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP).

Dari sisi advokasi kebijakan, Manajer Riset Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA), Badiul Hadi, menjelaskan bagaimana Seknas FITRA memastikan penggunaan pengetahuan dalam advokasi kebijakan, baik ke pemerintah Nasional maupun daerah terutama terkait realokasi dan refocusing anggaran untuk merespon pandemi. Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Institute for Research and Empowerment (IRE), Dina Mariana, memaparkan bagaimana IRE menggunakan pengetahuan lokal dan hasil riset dalam mendorong adanya kebijakan yang inklusif berbasis pengetahuan terkait isu ketahanan desa.

Dalam situasi pandemi COVID-19, pendekatan yang dilakukan kepada masyarakat tidak hanya aspek kesehatan dan ekonomi namun juga aspek budaya dan sosial. Informasi yang memengaruhi kebijakan publik perlu bersifat multidisiplin dan berasal dari multiaktor. Sementara itu, dari sisi perlindungan data pribadi, diperlukan regulasi yang tepat dalam melindungi data pribadi masyarakat. Seperti dalam aplikasi kesehatan Peduli Lindungi. Sebaiknya tujuan aplikasi lebih fokus pada kesehatan dan tidak digunakan atau terintegrasi dengan layanan lainnya seperti untuk e-commerce atau perbankan sehingga tidak melanggar prinsip perlindungan data pribadi.

Tidak hanya itu, pondasi demografi menjadi hal yang penting dalam perumusan kebijakan untuk mendorong pemerintah yang responsif dan membangun inisiatif warga. Perlu arena dan afirmasi yang memberi ruang untuk partisipasi yang dibutuhkan masyarakat. Hal itu menjadi pembelajaran untuk mendorong warga yang aktif dan pemerintah yang responsif.