Mengejar Learning Loss yang Dialami selama Pandemi Covid-19

Katadata
Penulis: Maidian Reviani - Tim Publikasi Katadata
23/3/2022, 20.33 WIB

Pandemi COVID-19 merombak beragam aspek di dunia pendidikan. Bukan hanya perpindahan cara belajar dari ruang kelas ke layar komputer di rumah masing-masing, tetapi juga menguji ide-ide dasar tentang konsentrasi, peran teknologi, dan cara siswa, guru serta orang tua berinteraksi untuk kegiatan belajar mengajar.

Sekretaris Jenderal, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek), Suharti Sutar mengakui, selama Pembelajaran Jarak Jauh dilaksanakan, learning loss yang dialami oleh para pelajar di Indonesia semakin besar. Apalagi untuk pelajar-pelajar yang berasal dari kalangan termarjinalkan, seperti siswa dan mahasiswa yang tinggal di daerah 3T, hingga anak-anak dengan orang tua berpendapatan menengah ke bawah.

Namun, dengan diterapkannya kurikulum darurat sejak tahun lalu, Suharti menilai bahwa learning loss yang terjadi semakin kecil.

“Dengan kurikulum biasa, anak-anak bebannya sangat besar. Dengan pengurangan-pengurangan yang ada di dalam kurikulum darurat ini, meskipun pada kurikulum inti menjadi lebih baik” kata Suharti saat menjadi penanggap dalam webinar berkonsep Ruang Bincang dengan tema “Advokasi Pendidikan dalam Merespon Pandemi COVID-19”, Rabu (23/3/2022). Webinar ini merupakan Ruang Bincang ke-delapan dari rangkaian Konferensi Knowledge-to-Policy (K2P) yang merupakan salah satu rangkaian kegiatan penutupan KSI untuk menampilkan produk pengetahuan dan pencapaian mitra KSI

Chair Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN), Dina Afrianty, menjelaskan tantangan siswa dengan disabilitas di masa pandemi ini serta rekomendasi kebijakan guna memastikan siswa berkebutuhan khusus dapat terpenuhi kebutuhannya.

Ia menjelaskan, PJJ tidak hanya memberikan dampak buruk pada siswa biasa saja, melainkan juga kepada siswa dengan kebutuhan khusus. Bahkan sistem pembelajaran ini dinilai lebih sulit untuk dilakukan oleh siswa dengan kebutuhan khusus.

Berdasarkan penelitian AIDRAN dengan guru-guru di berbagai wilayah Indonesia, banyak siswa dengan kebutuhan khusus, baik yang ada di sekolah inklusi maupun non-inklusi, yang kemudian tidak bisa bersekolah karena tidak ada pendampingan dari guru. Meskipun banyak juga guru yang sudah melakukan inisiatif untuk datang ke rumah siswa untuk memberikan materi pembelajaran.

“Kita bisa bayangkan, sebelum pandemi teman-teman disabilitas banyak mengalami kendala di sekolah dan perguruan tinggi. Tapi dengan pandemi dan pembelajaran online, masalah jadi jauh lebih besar lagi” kata Dina.

Hal ini lantas memberikan kekhawatiran tersendiri bagi pembelajar berkebutuhan khusus, utamanya mahasiswa. Karena bagaimanapun, mereka akan segera memasuki dunia kerja. Apalagi, selain learning loss yang harus mereka alami karena selama pandemi harus belajar sendiri, tidak ada pula bantuan dari pemerintah, seperti alat bantu laptop, ponsel, atau beasiswa.

“70% mahasiswa disabilitas mengatakan tidak mendapatkan bantuan apapun. Ini mengkhawatirkan karena siswa dengan disabilitas banyak datang dari kondisi ekonomi yang rendah,” imbuh Dina.

Sebelumnya, peneliti Article 33 Indonesia, Lukman Hakim, memaparkan rekomendasi yang dapat diberikan kepada pembuat kebijakan untuk meningkatkan keterserapan tamatan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) terutama dalam menghadapi lankap ketenagakerjaan yang berubah pada saat pandemi. Menurutnya, pandemi praktis membuat ekonomi nasional mengalami perlemahan, baik dari sisi permintaan (supply) maupun permintaan (demand).

Hal ini kemudian membuat banyak sektor bertumbangan, misalnya saja hiburan, pariwisata dan restoran. Padahal, seperti yang kita tahu ketiga sektor tersebut merupakan pasar tenaga kerja bagi siswa lulusan SMK. Meskipun di saat yang sama, ada pula sektor usaha yang masih mengalami pertumbuhan seperti sektor telekomunikasi, asuransi, hingga pertanian.

Karenanya, untuk mengatasi baik learning loss maupun permasalahan ketiadaan tenaga kerja bagi lulusan SMK, Lukman menilai, pemerintah, utamanya pemerintah provinsi untuk dapat membuat portal informasi mengenai pasar tenaga kerja yang masih tersedia. Di saat yang sama, dia juga berharap agar pemerintah dapat menjalin kerja sama lebih erat lagi dengan dunia usaha.

“Dengan kerja sama ini, siswa SMK bisa berkesempatan untuk praktik di perusahaan,” imbuhnya.

Sementara itu, peneliti Senior, SMERU Research Institute, Ulfah Alifia, menjelaskan upaya mitigasi yang perlu dilakukan untuk meminimalkan penurunan kemampuan akademik siswa. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk memulihkan kemampuan belajar siswa setelah lama menjalani PJJ.

Pertama, adalah dengan adanya intervensi khusus kepada guru dengan cara melakukan sebuah pengajaran terdiferensiasi (pembelajaran yang memperhatikan level kemampuan siswa), dengan catatan memberikan asesmen terlebih dulu pada siswa. Selanjutnya, pembelajaran perlu difokuskan pada literasi dan numerasi, yang mana targetnya tidak memberatkan siswa dan guru.

“Ada potensi campuran di masa depan, tapi tentunya pemerintah perlu berinvestasi, karena banyak guru kita yang kurang adaptif. Lalu pemerintah juga perlu berinvestasi pada sistem, karena orang tua perlu mendampingi siswa saat PJJ,” jelasnya.

Dari sisi kualitas pembelajaran, peneliti SurveyMETER, Fita Herawati, menjelaskan rekomendasi yang dapat diberikan kepada pembuat kebijakan guna memastikan kualitas pembelajaran di tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan adaptasi terhadap dinamika kondisi COVID-19. Fita menjelaskan, “Pandemi memang memposisikan kita pada posisi yang sulit, namun tidak ada alasan untuk kita tidak mencapai pendidikan yang lebih baik. Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan dasar yang sangat perlu diperhatikan.”

Lebih lanjut Wakil Dekan Kemahasiswaan Fakultas Psikologi UIN Jakarta sekaligus peneliti senior Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN, Yunita Faela Nisa, memaparkan faktor-faktor penting guna meningkatkan toleransi siswa dan mahasiswa di Indonesia serta rekomendasi kebijakan untuk mendorong hal tersebut. Yunita memberi rekomendasi kepada Kemendikbudristek untuk memasukan komponen nilai-nilai universal dalam akreditasi. “Bagaimana semua komponen yang menjunjung tinggi nilai-nilai universal dapat dimasukan ke dalam komponen akreditasi sekolah maupun perguruan tinggi sehingga menjadi sistem yang berkelanjutan untuk kebaikan Indonesia ke depan.” kata Yunita.

Dalam webinar ini, disepakati bahwa pemerintah tidak mungkin bekerja sendiri dalam menyelesaikan masalah dalam pendidikan dan meningkatkan kualitas pendidikan, melainkan butuh kolaborasi, partisipasi, sinergi dari semua pemangku kepentingan dan pemerintah terbuka akan hal tersebut. Dalam jangka pendek, pemerintah akan memastikan bahwa learning loss bisa semakin dikurangi. Sementara dalam jangka panjang, pemerintah berupaya untuk meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidikan.