Mengenal Terapi Cuci Otak Terawan Yang Membuatnya Dipecat IDI
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) akhirnya memberhentikan mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto secara permanen. Ia dianggap telah menyalahi kode etik kedokteran sehingga organisasi akhirnya mengambil keputusan tegas.
“Terawan sudah dipecat sementara oleh MKEK [Majelis Kode Etik Kedokteran], kemudian dianggap tidak ada perbaikan yg dilakukan Terawan. Maka MKEK mengusulkan ke Muktamar IDI ke -1 di Banda Aceh untuk diberhentikan keanggotaan selamanya. Dan disetujui oleh Muktamar,” kata Epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono yang mengetahui kabar tersebut.
Sebelum menjadi Menteri Kesehatan, Terawan memang pernah punya hubungan buruk dengan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Majelis Kehormatan organisasi bahkan pernah memberhentikan sementara keanggotan Terawan, meskipun belakangan IDI menunda keputusan tersebut.
Kala itu, Terawan dituding melanggar kode etik karena mempromosikan metode digital subtraction angiography (DSA) atau yang lebih dikenal dengan terapi ‘cuci otak’. Lantas apa sebetulnya metode DSA?
Mengutip laman Stanford Health Care, metode DSA sejatinya hal yang lumrah di dunia kedokteran. Teknik ini digunakan untuk memberikan gambaran pembuluh darah di otak untuk mendeteksi penyakit stroke.
Motodenya dilakukan dengan memasukkan kateter melalui arteri di kaki dan mengalirkannya ke pembuluh darah di otak. Petugas kemudian menyuntikkan cairan kontras yang mampu memberikan gambaran utuh mengenai pembuluh darah di organ dalam tubuh.
Terawan bertindak lebih jauh dengan metode DSA itu. Tidak hanya menyuntikkan cairan kontras, metode ‘cuci otak’ Terawan juga memasukkan heparin ke dalam pembuluh darah. Ini merupakan obat khusus yang berfungsi mengencerkan darah.
Terawan mengerjakan penelitian ini sebagai disertasi program doktoral untuk melihat dampak heparin terhadap pasien stroke iskemik. Menurut hipotesis Terawan, memasukkan heparin ke dalam pembuluh di otak bisa meningkatkan aliran darah hingga 20% dalam jangka waktu 73 hari.
Mengutip Tirto.id, sejumlah figur publik pernah mencoba metode ini. Salah satunya adalah mantan Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek pada 2014 silam. Namun, setelah menjalani metode tersebut, kondisi Awang tak kunjung membaik.
Metode DSA ala Terawan membuatnya dihujat oleh banyak koleganya di dunia kedokteran. DSA sebelumnya memang hanya digunakan untuk mendeteksi penyakit, bukan mengobati seperti yang dilakukan Terawan.
Selain itu, PB Majelis Kehormatan Etik Kedokteran IDI juga menganggap terapi ‘cuci otak’ Terawan belum terbukti secara klinis sehingga berpotensi membahayakan pasien. MKED pun akhirnya memberikan rekomendasi sanksi kepada Terawan atas metodenya tersebut.