Rekomendasi pemecatan terhadap mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI), berbuntut panjang. Ramai-ramai publik memberikan dukungan kepada Terawan, dan mengecam keputusan ini.
Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun bergerak cepat dengan mengundang IDI untuk rapat bersama pada Selasa (29/3), guna membahas rekomendasi Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) IDI. Namun IDI berhalangan hadir karena masih menyelesaikan berkas Muktamar ke-31 IDI yang digelar di Banda Aceh.
Pada Muktamar tersebut, MKEK IDI memberikan rekomendasi agar Pengurus Besar IDI memecat Terawan secara permanen dari keanggotaan IDI karena telah melakukan pelanggaran etik berat. Adapun pemecatan akan berlaku efektif selambat-lambatnya 28 hari kerja setelah keputusan dibuat.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, yang juga merupakan anggota IDI, melihat persoalan ini semakin melebar karena dikomentari berbagai pihak. Tetapi justru Terawan yang menjadi subyek, terlihat seolah-olah tidak memiliki itikad untuk menyelesaikan permasalahan.
"Semua tergantung Terawan," kata Pandu saat dihubungi Katadata, Rabu (30/3)
Pandu pun meminta agar Terawan tak meminta dukungan dari berbagai pihak, dan memulai komunikasi secara personal kepada PBIDI.
Menurut Pandu, rekomendasi MKEK ini merupakan buntut dari laporan yang diterima sejak 2013. Hal ini menyangkut terapi terhadap pasien stroke iskemik kronik, menggunakan metode digital subtraction angiopgraphy (DSA) atau terapi cuci otak.
Teknik cuci otak ala Terawan dinilai tidak dilakukan berdasarkan penelitian ilmiah. Prosedur ini dilakukan dengan memasukkan kateter ke dalam pembuluh darah melalui pangkal paha untuk memeriksa penyumbatan pembuluh darah di area otak. Jika menemukan sumbatan pada pembuluh darah, Terawan akan menyemprotkan obat heparin untuk menghancurkan plak atau lemak tersebut.
MKEK menggelar audiensi dengan Terawan pada 30 Agustus 2013. Dalam audiensi ini, Terawan berjanji akan menuliskan dasar-dasar bukti ilmiah tindakan medis ini di sebuah media.
Akan tetapi, janji itu tak kunjung terpenuhi. Hingga 2018, Terawan mendapatkan sanksi pemberhentian sementara selama satu tahun. IDI juga memberikan kesempatan kepada Terawan untuk memberikan klarifikasi serta menunjukan Evidence-based Medicine (EBM) terhadap terapi yang dilakukan.
Setelah rekomendasi pemberhentian sementara keluar, terjadi mediasi dengan berbagai pihak, "Kemenkes (Kementerian Kesehatan), TNI ikut membantu," ungkap Pandu.
Pascamediasi, tetap saja Terawan tak juga mempublikasikan dasar-dasar bukti ilmiah terhadap tindakan medis ini. "Terawan merasa sudah selesai, padahal belum dan harus diselesaikan," jelas Pandu.
Pada saat Terawan dipercaya Presiden Joko Widodo menjadi Menteri Kesehatan, IDI pun melayangkan surat untuk memberi tahu mengenai status Terawan yang sedang menjalani proses etik di MKEK IDI.
Menurut Pandu, masalah pelanggaran terhadap Kode Etik dokter penting untuk ditindak karena dalam menjalankan profesi, dokter bertujuan melindungi keselamatan publik.
"Di situlah peran organisasi profesi dokter untuk menjaga agar dokter tetap menjalankan profesinya dengan penuh tanggung jawab," ujarnya.
Kini, menurut Pandu, untuk menyelesaikan polemik ini berpulang kembali kepada Terawan. Dia memiliki waktu hingga rekomendasi MKEK berlaku definitif nanti. "Ketum PBIDI yang membuat keputusannya," terang Pandu.
Melalui Andi, Terawan juga meminta agar persoalan ini tidak menimbulkan kegaduhan. "Teman-teman sejawat dan yang lain agar bisa menahan diri untuk tidak menimbulkan kekisruhan publik, karena kita masih menghadapi pandemi Covid-19, kasihan masyarakat dan saudara-saudara sejawat yang di daerah, puskesmas, rumah sakit dan lain-lain ikut terganggu," kata Andi menirukan Terawan, Senin (28/3).
Sementara terkait metode cuci otak, melalui konferensi pers pada 2018, Terawan menjelaskan metode terapinya telah teruji secara ilmiah, karena menjadi disertasi saat ia meraih gelar doktor dari Universitas Hasanuddin. "Kalau itu diuji secara ilmiah sudah dilakukan melalui disertasi, dan disertasi sebuah universitas terpandang, menurut saya harus dihargai," kata Terawan dalam konferensi pers di RSPAD, Rabu, 4 April 2018.
Sebelumnya MKEK IDI menganggap Terawan tidak mempunyai itikad baik setelah diberikan sanksi pemberhentian sementara terkait metode cuci otak pada 2018 lalu. Ketua MKEK menyebutkan Terawan belum memberikan bukti telah menjalani sanksi etik selama periode 2018-2022.
Sementara dua alasan lainnya adalah tindakan Terawan mempromosikan Vaksin Nusantara padahal penelitiannya belum selesai, serta bermanuver dengan membentuk perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Klinik Indonesia (PDSRKI).
Keputusan MKEK ini langsung menuai polemik. Masyarakat ramai-ramai membahas persoalan ini melalui media sosial.
Di Twitter, topik #Terawan dan #SaveTerawan menjadi tren percakapan sejak Sabtu (26/3) setelah pengumuman MKEK. Topik ini terpantau bertengger di sepuluh besar tren percakapan Twitter hingga Senin (28/3) siang, dan setelahnya mulai memudar.
Umumnya masyarakat mempertanyakan keputusan yang dikeluarkan MKEK IDI, karena rekam jejak Terawan sebagai dokter mendapatkan banyak pujian dari mereka yang pernah menjadi pasiennya.
Selain itu, setidaknya ada tiga petisi yang kini aktif mendukung Terawan. Petisi pertama berjudul "Save dr.terawan dari sanksi pemecatan", dibuat Mirna Lestari pada 5 April 2018, ketika Terawan terancam diberhentikan sementara. Petisi ini telah mendapatkan dukungan 51 ribu tanda tangan, hingga Rabu (30/3) siang.
"Metode briliannya sudah menyelamatkan hidup banyak orang termasuk saya," ujar Mirna dalam penjelasan detail petisi.
Sementara dua petisi dukungan untuk Terawan lainnya kurang mendapatkan popularitas yang sama dengan Mirna. Petisi Mercurius Restyanto yang dibuat Sabtu, 26 Maret 2022, mendapatkan 82 dukungan. Kemudian petisi Ignatia Martowirogo pada 28 Maret 2022, hanya 56 dukungan.