Sudah dua pekan berlalu sejak Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) mengeluarkan rekomendasi pemecatan permanen, kepada mantan Menteri Kesehatan dr. Terawan Agus Putranto dari keanggotaan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
MKEK mengeluarkan rekomendasi karena menilai Terawan telah melakukan pelanggaran etik berat, dengan menerapkan terapi "cuci otak" terhadap stroke iskemik kronik melalui metode diagnostik Digital Substraction Angiography (DSA). Sebab, terapi ini belum memiliki kajian ilmiah.
Hingga kini, pro-kontra mengenai rekomendasi tersebut masih bergulir di tengah masyarakat. Sebagian menyatakan rekomendasi itu patut dikeluarkan, sebagian yang lain menyebut keputusan MKEK berlebihan seraya memberikan testimoni mengenai keampuhan terapi "cuci otak" Terawan.
Di tengah polemik ini, Dokter spesialis jantung dan pengamat masalah kesehatan dari Universitas Indonesia dr. Bambang Budiono, memberikan pandangan mengenai pentingnya kajian ilmiah terhadap suatu terapi di dunia kedokteran.
"Dalam menguji keampuhan suatu metoda pengobatan ada beberapa cara atau metodologi yang lazim dilakukan dan telah diterima secara luas di dunia medis," jelas Bambang dalam keterangan resmi yang diterima katadata.co.id, Jumat (8/4).
Pertama menggunakan hasil antara atau “surrogate end point”, dengan melihat beberapa perubahan penanda khusus dari hasil laboratorium, atau pencitraan khusus seperti kardiologi nuklir, ekokardiografi, dan beragam pencitraan khusus lainnya, untuk melihat dampak suatu pengobatan.
Cara lainnya adalah menggunakan data klinis pasien sebagai hasil akhir. Seperti terjadinya peningkatan kemampuan fisik, atau penurunan frekuensi perawatan di rumah sakit.
Kemudian untuk menilai keunggulan suatu metoda pengobatan, dapat dilakukan dengan membandingkan obat atau metode baru dengan terapi yang standar diterapkan, jika sudah ada sebelumnya. Jika tidak, membandingkannya dengan suatu bahan tidak aktif yang disebut plasebo.
Perlu diketahui, meski plasebo bukan zat aktif, tetapi dapat memiliki dampak seperti zat aktif, baik secara khasiat maupun efek sampingnya.
Hal ini terkadang membuat pasien yang memperoleh kapsul berisi tepung, dapat mengalami penurunan kadar gula darah, tensi, atau kadar cholesterol. Bahkan, berkurangnya keluhan klinis. Mereka juga dapat mengeluhkan efek samping mirip obat aktif, seperti batuk, diare, demam, pusing, dan sebagainya.
"Penelitian dengan desain yang baik akan menjawab apakah obat atau metoda yang diberikan pada pasien benar-benar memiliki manfaat klinis atau tidak. Semakin banyak yang terlibat penelitian, semakin kuat kesimpulan yang bisa diambil apakah memang bermanfaat atau tak lebih baik dari plasebo," jelas Bambang.
Terkait efek samping terhadap plasebo ini, Bambang menyinggung peristiwa di masa lampau, yaitu fenomena Tongkat Perkins.
Elisha Perkins pada akhir abad ke-18 membuat sebuah tongkat dari dua batang logam 3 inci dengan ujung runcing. Meski bahannya merupakan campuran baja dan kuningan, Perkins mengklaim tongkat ciptaannya terbuat dari paduan logam yang tidak biasa, sehingga dapat menyembuhkan berbagai peradangan, rematik, hingga nyeri pada kepala dan wajah.
"Dia menerapkan titik-titik pada bagian tubuh yang sakit dan menggunakan tongkatnya untuk melakukan penyembuhan selama sekitar 20 menit," lanjut Bambang.
Testimoni dari mulut ke mulut juga membuat metode ini ‘booming’ kala itu.
Akan tetapi, Ikatan Dokter Connecticut di Amerika Serikat (AS) mengutuk metoda ini dan menyebutnya "perdukunan delusi". Mirip dengan Terawan, Perkins juga dikeluarkan dari keanggotaan.
Namun Perkins berhasil meyakinkan tiga fakultas kedokteran di AS, hingga di Kopenhagen, Denmark, dua belas ahli bedah di Royal Frederiks Hospital juga mulai mendukung metode ini.
"Perkins juga membanggakan 5 ribu kasus yang telah berhasil disembuhkan oleh tongkatnya. Bahkan, metoda penyembuhan tersebut disertifikasi oleh delapan profesor, empat puluh dokter, dan tiga puluh pendeta. Bahkan presiden Washington pun tergiur untuk membelinya," terang Bambang.
Baru pada 1799, Dr. John Haygarth melakukan uji coba terhadap temuan Perkins ini. Ia merawat lima pasien rematik dengan tongkat kayu yang dibuat menyerupai logam. Hasilnya, empat di antara mereka mengaku rasa sakitnya berkurang. Keesokan harinya, terapi serupa dilakukan dengan tongkat logam, dan menghasilkan kesimpulan yang sama.
Dr. Haygarth melaporkan temuannya dalam publikasi berjudul “On the Imagination as a Cause & as a Cure of the Disorders of the Body”.
"Kisah di atas memperlihatkan betapa besar pengaruh suatu efek plasebo, ketika pasien meyakini bahwa itu bisa menyembuhkan. Tak heran, jika ‘batu Ponari’ pun pernah berhasil menyembuhkan berbagai penyakit pada ratusan orang," ungkap Bambang.
Seraya menambahkan, "Perlu dipahami, dunia kedokteran tak memberi tempat untuk testimoni karena tak bisa diuji. Sekalipun diucapkan oleh seorang menteri atau bahkan presiden pun, testimoni tak akan pernah memiliki nilai setara bukti klinis."
Sebelumnya, IDI menyebut dugaan pelanggaran etik kedokteran yang dilakukan Terawan meliputi:
1. Mengiklankan diri secara berlebihan dengan klaim tindakan untuk pengobatan (kuratif) dan pencegahan (preventif);
2. Tidak kooperatif mendatangi undangan Divisi Pembinaan MKEK PB IDI, termasuk undangan menghadiri sidang Kemahkamahan;
3. Dugaan menarik bayaran dalam jumlah besar pada tindakan yang belum ada Evidence Based Medicine (EBM);
4. Menjanjikan kesembuhan kepada pasien setelah menjalani tindakan cuci otak.
Terkait metode cuci otak ini, melalui konferensi pers pada 2018, Terawan menjelaskan terapinya telah teruji secara ilmiah, karena menjadi disertasi saat ia meraih gelar doktor dari Universitas Hasanuddin.
"Kalau itu diuji secara ilmiah sudah dilakukan melalui disertasi, dan disertasi sebuah universitas terpandang, menurut saya harus dihargai," kata Terawan di RSPAD, Rabu, 4 April 2018.
Menurut hipotesisnya, memasukkan heparin dalam pembuluh otak dapat meningkatkan aliran darah hingga 20% dalam jangka waktu 73 hari.