Indonesia dengan Malaysia mungkin memiliki sejarah rumpun yang sama, akan tetapi ketika menyangkut bahasa, kedua negara memiliki pemahaman kata yang berbeda.
Hal ini juga yang menjadi persoalan, ketika mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, memberikan keynote speech dalam acara Diskusi bertajuk "Politik Membangun Peradaban, Hubungan ASEAN dan Tantangan ke Depan", yang digelar pada Rakernas Partai Nasdem, Jumat (17/6).
Terdapat beberapa momen jenaka ketika kata yang diucapkan Mahathir, karena memiliki arti yang berbeda dalam bahasa Indonesia, menghadirkan tawa dan senyum dari peserta Rakernas Nasdem di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta.
"Saya juga sadar, antara perkataan yang saya guna agak janggal dan lucu pada pendengaran saudara-saudari," kata Mahathir membuka pidatonya.
"Tetapi perbedaan ini pasti tidak besar, karena seperti hadirin semua tahu, bahwa asasnya budaya bahasa dan nilai kita berasal dari rumpun yang sama. Tatkala keseluruhan bumi Indonesia dan Malaysia terbentang sebagai satu nusantara, yang tidak terbagi oleh sempadan yang hari ini kita kenali sebagai negara bangsa," lanjutnya.
Salah satunya ketika menjelaskan mengenai kedewasaan berpolitik usai pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu), demi menjaga stabilitas negara.
Menurut Mahathir, sebuah bangsa dapat maju apabila pihak yang terlibat dalam Pemilu mampu menjunjung semangat demokrasi dan tidak larut dalam persaingan politik.
"Ini memerlukan kematangan berpolitik, pihak yang menang, dan juga pihak yang tewas. Demokrasi yang dipegang perlu memahami sebagai keputusan majority rakyat, dan yang tewas menghormati keputusan tersebut," jelas Mahathir.
Setelah mendengar kata "tewas", sontak hadirin melepaskan tawa. Dalam bahasa Indonesia tewas berarti mati. Tetapi Mahathir bermaksud kalah.
Perbedaan lainnya adalah ketika Mahathir menyebutkan bahwa untuk negara dapat maju, maka mereka butuh kerajaan yang stabil. "Salah satu kriteria yang sering saya ungkapkan perlu bagi seorang pemmimpin memajukan negara, ialah sebuah kerajaan yang stabil."
Kerajaan mengacu pada pemerintahan, karena Malaysia dipimpin seorang raja dengan sebutan Yang Dipertuan Agung dan dipilih setiap lima tahun sekali.
Sementara Indonesia, dipimpin Presiden yang dipilih lima tahun sekali melalui Pemilu.
Stabilitas menurut Mahathir bukan bermakna pembangkang harus duduk diam, dan merelakan haknya untuk mengkritik kesalahan pemerintah. "Tetapi dia perlu melakukan tanggung jawab pengkritik yang konstruktif, dan pemerhati yang efektif," jelasnya.
Hanya ketika keadaan sudah sangat luar biasa, kritik dapat disampaikan secara bertanggung jawab. "Dengan demikian kerajaan dapat berfungsi dengan baik dan mampu memberikan tumpuan kepada program, serta melaksanakan dasar yang boleh membawa kebaikan kepada rakyat."
Pada kesempatan ini, Mahathir juga menjelaskan bagaimana sebuah negara dapat lebih sukses melaju. Kuncinya berada pada pemimpin yang berani mengambil keputusan.
"Kita tahu ada pemimpin yang tidak berani dan hanya mencari jalan mudah dan populis. Hasilnya rakyat akan terlena, tanpa sadar negara sedang rusak dan akhirnya akan binasa," ujarnya.
Untuk itu, terkadang sebagai pemimpin mereka harus berani mengambil keputusan untuk mengamputasi suatu masalah negatif yang menyebar dan merusak, untuk mencegahnya meluas dan pada akhirnya menimbulkan kerugian lebih besar pada negara dan masyarakat.
"Keputusan untuk amputasi ini perlu dibuat walaupun amat sukar, pedih, dan menyedihkan," kata Mahathir.