Posita Adalah Dalil Dasar Suatu Gugatan Perdata, Ini Penjelasannya

ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/rwa.
Ilustrasi, suasana sidang di pengadilan.
Penulis: Fathnur Rohman
Editor: Agung
17/8/2022, 00.16 WIB

Dalam sebuah perkara atau kasus perdata yang dibawa ke ranah hukum, posita adalah suatu istilah yang sangat penting untuk dipahami. Khususnya apabila Anda merupakan seorang penggugat.

Pada praktik hukum acara perdata, posita adalah bagian dari surat gugatan yang perlu diuraikan secara jelas dan detail. Pasalnya, fungsi posita yakni untuk menggambarkan korelasi atau hubungan yang menjadi dasar dari suatu tuntutan.

Disamping itu selain punya peran penting dalam penyusunan surat gugatan, posita adalah dalil-dalil yang mesti diuraikan dengan jelas. Mengingat posita juga diibaratkan sebagai alat untuk menjelaskan duduk persoalan suatu kasus.

Untuk memahami lebih lanjut apa itu posita di dalam hukum perdata, simak pembahasannya berikut ini.

Apa Itu Posita?

Secara harfiah posita adalah dalil yang menjadi dasar gugatan sebuah perkara perdata. Posita atau sering juga disebut fundamentum petendi harus disusun dengan baik. Alasannya karena bagian ini berisi dalil yang mesti diuraikan secara jelas dan runtut mengenai objek sengketa, hubungan hukum, dan sebagainya.

Mengutip buku Praktik Beracara di Peradilan Agama, posita adalah penjelasan yang menjadi alasan hukum diajukannya sebuah gugatan perdata. Dalam membuat posita, diperlukan fakta hukum yang kuat. Bukan fakta apa adanya.

Oleh sebab itu, seorang yang mengajukan sebuah gugatan perdata harus memiliki pengetahuan yang memadai. Terutama mengenai materi gugatan yang perlu diseleksi dan menganalisis fakta riil. Sehingga, fakta tersebut dapat sinkron dengan keterangan saksi di depan persidangan.

Dalam praktik hukum perdata, hubungan antara posita dan petitum sangat erat. Sebab, posita adalah dasar untuk membuat petitum yang benar. Petitum sendiri dapat diartikan sebagai suatu hal yang dituntut agar diputuskan demikian pada persidangan.

Menurut buku Praktik Hukum dalam Perkara Perdata (2020) yang disusun oleh Nurul Qamar, dijelaskan bahwa posita adalah dalil-dalil konkret tentang adanya hubungan hukum yang menjadi dasar sebuah tuntutan. Dalam buku ini disebutkan, pada proses penyusunan gugatan ada beberapa hal mencakup posita sebagai berikut:

1. Objek Perkara

Objek perkara dalam suatu gugatan adalah mengenai hal apa gugatan itu diajukan, apakah menyangkut sengketa hak atas tanah, sengketa merek dagang, sengketa mengenai penyalahgunaan keadaan dalam suatu perjanjian, dan sebagainya.

2. Fakta-fakta Hukum

Fakta-fakta hukum dalam suatu gugatan adalah penjelasan mengenai hal-hal yang menyebabkan timbulnya sengketa. 

3. Kualifikasi Perbuatan Tergugat

Bagian ini menjadi sangat penting dalam pembuatan posita. Misalnya apakah tergugat telah melanggar hak-hak subjektif penggugat, melanggar undang-undang, hingga bertindak sewenang-wenang.

4. Uraian Mengenai Kerugian

Bagian ini merupakan penjabaran atau perincian mengenai kerugian yang diderita penggugat, akibat perbuatan tergugat. Kerugian ini dapat berupa kerugian materil maupun moril, yang dapat ditaksir dengan sejumlah uang.

5. Hubungan Posita dengan Petitum Gugatan

Hubungan yang dimaksud di sini adalah mengenai hal-hal yang tidak dikemukakan dalam posita tidak dapat dimohonkan dalam petitum. Namun, hal-hal yang tidak dimintakan dalam petitum dapat dikabulkan asalkan saja hal itu telah dikemukakan dalam posita gugatan. 

Pokok-pokok dalam Posita

Posita adalah dalil-dalil yang menjadi alasan dasar suatu tuntutan hak. Menurut buku Pembuatan Berkas-Berkas Perkara Perdata, terdapat dua bagian penting dalam penyusunan posita. Dua bagian tersebut menjadi pokok-pokok yang bisa dijabarkan sebagai berikut:

  • Bagian yang menguraikan kejadian atau peristiwa mengenai duduk perkara suatu gugatan yang diajukan.
  • Bagian kedua adalah poin yang menjabarkan tentang dasar hukum atas peristiwa atau kejadian. 

Teori dalam Posita

Selain dua bagian yang sudah dijelaskan di atas, ada beberapa hal yang bisa menjadi landasan dalam penyusunan posita. Misalnya yakni dua teori terkait dengan luasnya uraian pada posita.

Menurut buku Hukum Acara Perdata di Indonesia: Permasalahan Eksekusi dan Mediasi, kedua teori yang berkaitan dengan posita adalah sebagai berikut:

Substantierings Theory

Menurut teori ini, penyusunan posita tidaklah cukup hanya menguraikan mengenai peristiwa dan hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan. Melainkan perlu dijelaskan pula bagaimana sejarahnya sampai terjadi peristiwa tersebut serta hubungan hukumnya.

Individualiserings Theory

Teori ini menjelaskan penyusunan suatu posita adalah sudah dipandang cukup dengan menguraikan peristiwa dan hubungan hukum, tanpa menjabarkan secara detail sejarah serta peristiwa dan hubungan hukum tersebut.