Majelis hakim yang menyidangkan perkara pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat tidak dapat menerima alasan pelecehan di balik pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat seperti disampaikan Ferdy Sambo. Menurut Majelis Hakim alasan itu tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
“Tindakan pelecehan tidak mempunyai bukti fisik yang nyata seperti rekam medis,” ujar hakim Wahyu di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (17/2).
Menurut hakim terdapat sejumlah hal yang membuat indikasi pelecehan tidak dapat dijadikan dasar dalam putusan hakim. Alasan pertama adalah bahwa hakim tidak menemukan adanya profil orang yang mengalami kekerasan seksual dalam diri Putri Candrawathi.
Tidak ada Tanda
Hakim menilai pada saat Putri menjalani pemeriksaan oleh Mabes Polri beberapa hari setelah kematian Brigadir J, tidak terlihat adanya unsur orang yang mengalami trauma. Padahal menurut hakim korban kekerasan seksual biasanya akan menjalani fase tertentu seperti tertekan dan dan adanya upaya untuk menerima keadaan.
Relasi Kuasa
Dalam pandangan kedua hakim mengemukakan soal adanya relasi kuasa dalam perkara kekerasan seksual. Dalam kasus Putri, hakim menilai secara kuasa Brigadir J berada pada strata yang jauh di bawah Putri Candrawathi.
Yosua merupakan lulusan SMA dan berpangkat brigadir sedangkan Putri merupakan istri atasannya yang merupakan perwira di Markas Besar Kepolisian Polri. Selain itu Putri merupakan lulusan kedokteran yang memiliki pengetahuan dan wawasan yang jauh.
"Dengan adanya ketergantungan relasi kuasa dimaksud, sangat kecil kemungkinan korban melakukan pelecehan seksual,” ujar Hakim.
Sikap Mental
Alasan ketiga yang dikemukakan hakim adalah tidak ada fakta yang membuktikan Putri mendapatkan perlakukan tindakan kekerasan seksual atau perkosaan. Wahyu menjelaskan Putri tidak memiliki PTSD atau stress setelah mendapatkan trauma berat. PTSD merupakan penyakit mental yang biasanya dimiliki oleh korban kekerasan seksual atau perkosaan.
Wahyu menjelaskan umumnya korban kekerasan seksual harus melalui lima tahap kesedihan agar bisa sembuh dari PTSD. Adapun, waktu yang dibutuhkan untuk sembuh dari PTSD memerlukan waktu yang lama.
Sementara itu, Wahyu menemukan Putri sempat mendatangi jenazah korban setelah korban meninggal. Wahyu menilai perilaku tersebut bertentangan dengan perilaku pasien PTSD.
"Putri yang menemui orang yang diduga melakukan kekerasan seksual terlalu, sehingga tidak masuk akal dali kekerasan seksual tersebut," kata Wahyu.
Tidak Ada Bukti Fisik
Di samping itu, Wahyu menyebutkan majelis hakim tidak menemukan bukti fisik adanya kekerasan seksual pada Putri. Bukti fisik yang dimaksud adalah dokumen medis berupa visum. Oleh karena itu, Wahyu menilai motif kekerasan seksual terhadap putri tidak dapat dibuktikan.
"Sehingga, alasan itu patut dikesampingkan," kata Wahyu.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum menuntut Ferdy Sambo dengan hukuman penjara seumur hidup. Jaksa mengatakan berdasarkan keterangan sejumlah saksi dan alat bukti, Ferdy Sambo telah secara sah melakukan pembunuhan berencana sesuai Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP subsider Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Dalam perkara ini, Sambo disebut secara bersama-sama melakukan pembunuhan berencana bersama Bharada Richard Eliezer, Ricky Rizal, Kuat Ma’ruf, dan Putri Candrawathi. Putri, Ricky dan Kuat dituntut hukuman penjara 8 tahun. Sedangkan Bharada E dituntut hukuman 12 tahun penjara.
Pada sidang hari ini, hakim juga akan membacakan vonis untuk Putri. Sebelumnya tim JPU menyatakan Putri terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Hal yang memberatkan tuntutan Putri Candrawathi adalah perbuatan menghilangkan nyawa korban Nofriansyah Yosua Hutabarat, sehingga menyebabkan duka yang mendalam bagi keluarga korban.