Rentetan gempa bumi mengguncang Kepulauan Mentawai di Sumatra Barat pada Selasa (25/4) dini hari. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pun sempat mengeluarkan peringatan dini potensi tsunami, tetapi peringatan tersebut diakhiri pagi tadi.
Sebelumnya pada Minggu (23/4), gempa mengguncang wilayah itu pada pukul 04.17 dini hari dengan kekuatan magnitudo 6,1. Berbeda dengan gempa yang terjadi pada Selasa dini hari, gempa pada Minggu dini hari tak berpotensi tsunami.
Gempa juga mengguncang Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara, pada Minggu (23/4) pukul 00.09 dini hari dengan magnitudo 5,9. Disusul gempa dengan magnitudo 5,5 pukul 06.33 di hari yang sama.
Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengatakan gempa yang terjadi pada Selasa dini hari merupakan jenis gempa dangkal akibat aktivitas subduksi lempeng Indo-Australia. “Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan gempa memiliki mekanisme pergerakan naik (thrust fault),” kata Daryono, seperti dikutip dari akun Twitter pribadinya.
Lempeng Indo-Australia merupakan pertemuan antarlempeng samudera, yang lantas membentuk zona megathrust. Zona ini mengakumulasi energi selama puluhan hingga ratusan tahun dan akan mencapai titik jenuhnya.
Jika energi yang tersimpan di dalamnya lepas, akan mengakibatkan gerak sesar naik dan getaran sangat kuat, atau disebut gempa megathrust. Gempa ini juga bisa menyebabkan gerakan vertikal besar di dasar laut dan memindahkan air menjauhi bawah laut yang dapat menimbulkan tsunami.
Pada kejadian gempa Selasa dini hari, Daryono mengatakan BMKG mengamati adanya tsunami kecil dengan ketinggian 11 cm.
Sejarah Kegempaan di Zona Megathrust Mentawai
Rentetan gempa yang menerjang di sekitar Kepulauan Mentawai dan Nias bersumber dari pergerakan di zona megathrust Mentawai. Segmen yang terbentuk dari aktivitas subduksi Lempeng Indo-Australia di bawah Lempeng Eurasia itu menyimpan sejarah kebencanaan sejak ribuan tahun silam.
Gempa akibat zona megathrust Mentawai dini hari tadi bukan kejadian yang pertama. Pada 10 Februari 1797, terjadi gempa berkekuatan M 8,5 dan menyebabkan tsunami. Sebanyak 300 orang meninggal dunia dalam kejadian tersebut.
"Sejarah gempa merusak ini sebetulnya di wilayah yang terjadi di pusat gempa saat ini (zona megathrust Mentawai), telah mengalami gempa-gempa sebelumnya kurang lebih 16 kali yang tercatat mulai 1797," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, dalam konferensi pers BMKG secara daring pada 2022.
Salah satu dari kejadian gempa tersebut adalah gempa berkekuatan M 7,6 pada 30 September 2009. Gempa itu juga menyebabkan tsunami dan 1,1 ribu orang meninggal dunia.
Sejalan dengan itu, Daryono mengatakan gempa berkekuatan di atas M 6,0 seringkali terjadi di zona megathrust Mentawai sejak 2016 pada konferensi pers BMKG, Selasa (25/4). Karena itu, konsentrasi energi yang tersimpan di dalam zona tersebut telah berkurang.
Dia menambahkan, dengan banyaknya gempa yang sudah terjadi di zona megathrust Mentawai, maka potensi terjadi gempa dengan kekuatan besar seperti pada 1797 relatif kecil. “Tetapi, untuk menghitung secara absolut itu tidak mudah dan tidak bisa dihitung dengan nilai yang pasti,” kata Daryono.
Paska berakhirnya peringatan dini tsunami untuk gempa Mentawai, Dwikorita meminta masyarakat tetap waspada. "Saat ini yang dikhawatirkan bukan lagi tsunami, namun masih ada kemungkinan gempa susulan yang semakin lemah," kata dia.