Jimly: Hakim MK Berpotensi Langgar Kode Etik di Putusan Usia Cawapres
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie menyebut sembilan hakim MK berpotensi melanggar kode etik atas putusan untuk perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden. Pelanggaran etik terjadi karena para hakim membiarkan institusi itu memutus perkara yang diduga berkaitan dengan kepentingan anggota keluarga hakim.
"Sehingga sembilan hakim MK itu dituduh, semua melanggar (kode etik) karena membiarkan itu. Makanya kami tanyakan satu-satu, ya masing-masing punya alasan," kata Jimly usai menggelar sidang tertutup di Gedung MK seperti dikutip Kamis (2/11).
Ia mengatakan enam hakim konstitusi yang sudah diperiksa memiliki pendapat yang berbeda terkait permasalahan yang dilaporkan oleh masyarakat kepada MKMK. "Jadi nanti ada saja yang ternyata benar kok, ikut memberi pembenaran, tapi ada juga yang sudah mengingatkan, tapi tidak efektif, ada juga yang pakewuh," ujar Jimly.
Jimly mengatakan, apabila hakim MK terbukti melanggar kode etik maka bisa saja akan berpengaruh pada putusan yang telah dibuat. Ia menyebut majelis kehormatan yang saat ini sedang bekerja bisa saja diyakinkan untuk membatalkan Putusan Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait perubahan syarat usia capres dan cawapres.
"Berarti sesuai Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman pasal 17 ayat 7, (perkara) di-Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) lagi oleh majelis berbeda," kata Jimly.
Meski begitu, dia menegaskan bahwa MKMK baru akan mengeluarkan putusan terkait pelanggaran kode etik pada Selasa (7/1). Putusan diambil setelah memeriksa pelapor dan isi laporannya, dan memeriksa semua hakim konstitusi.
MKMK pada Selasa (31/10) dan Rabu (1/11) telah memeriksa enam hakim yang terdiri dari Anwar Usman, Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Saldi Isra, Manahan Sitompul, dan Suhartoyo. MKMK akan kembali memeriksa tiga hakim konstitusi pada Kamis (2/11) yakni Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, Guntur Hamzah, dan Wahiduddin.
Sebelumnya Jimly mengatakan terdapat sepuluh poin persoalan yang ditemukan MKMK terkait MK, berdasarkan laporan dari masyarakat. Laporan itu antara lain soal dugaan konflik kepentingan, perilaku hakim yang berbicara di luar sidang terkait perkara yang ditangani, bocornya data internal, juga soal materi dissenting opinion yang muatannya melebihi yang seharusnya.
Menurut Jimly, ditambah dengan dugaan pembiaran oleh hakim MK ini maka terdapat 11 poin persoalan yang telah dilaporkan oleh masyarakat kepada MKMK.
Persoalan etik hakim MK ini mencuat setelah pada Senin (16/10), MK mengabulkan sebagian Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh warga negara Indonesia bernama Almas Tsaqibbirru Re A. dari Surakarta, Jawa Tengah. Ia mengajukan gugatan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Atas putusan tersebut, Pasal 169 huruf q UU Pemilu selengkapnya berbunyi “Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”. Putusan itu menjadi kontroversi karena memuluskan langkah Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai calon wakil presiden dari Koalisi Indonesia Bersatu mendampingi Prabowo Subianto.
Terhadap putusan itu terdapat alasan berbeda (concurring opinion) dari dua orang hakim konstitusi, yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh. Jugada pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi, yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.