Pengendalian Perubahan Iklim Perlu Sinergi Nasional dan Internasional

Katadata
Penulis: Doddy Rosadi - Tim Publikasi Katadata
3/11/2023, 08.51 WIB

Pengendalian perubahan iklim pada masing-masing negara, termasuk di Indonesia, memerlukan proses nasional dan internasional yang bersifat iteratif dan sinergis.

Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim (PPI) Kemeneterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi mengungkapkan, penanganan perubahan iklim di tingkat internasional dibahas melalui Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim PBB (UNFCCC) yang dihasilkan melalui proses negosiasi para negara pihak.

“Implementasi dari kesepakatan di tingkat internasional tersebut memerlukan penterjemahan kedalam konteks pembangunan nasional (internalisasi) untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan mengarus-utamakan prinsip rendah emisi dan resilien terhadap perubahan iklim. Oleh karenanya efektivitas pengendalian perubahan iklim juga sangat bergantung pada kebijakan dan ‘measure’ di semua level baik internasional, regional, nasional, dan sub-nasional,” kata Laksmi saat memberikan kata sambutan di event ESG Symposium 2023 Indonesia yang digelar oleh SCG dan Sisiplus by Katadata, di Jakarta, Kamis (2/11/2023).

Laksmi menambahkan, keberagaman aksi dan dukungan tersebut memerlukan mekanisme keterpaduan yang kuat agar efektif dan efisien serta meminimalkan kesenjangan antara kegiatan yang dilakukan di lapangan dan dukungan yang diberikan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, kata Laskmi, Pemerintah Indonesia terus berkomitmen untuk meningkatkan ambisinya dalam upaya pengurangan emisi GRK yang disampaikan, secara kronologis, dalam dokumen First Nationally Determined Contributions (NDC), Updated NDC, Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience 2050 dan terakhir penyampaian Enhanced NDC pada September 2022.

“Melalui Ehanced NDC, Indonesia telah menaikkan target pengurangan emisi GRK pada skenario CM1 dengan upaya sendiri sebesar 31,89 % dan pada skenario CM2 dengan bantuan luar negeri sebesar 43,20% dari BAU (Bussiness as Usual) tahun 2030,” jelas Laksmi.

Selain target pada 2030 tersebut, menurut Laksmi, Pemerintah Indonesia juga telah menyampaikan visi perubahan iklim tahun 2050 dalam dokumen LTS-LCCR 2050, yang memuat tujuan Indonesia menuju Net-Zero Emission 2060 atau lebih cepat. Saat ini Indonesia juga sedang mempersiapkan Second NDC yang diharapkan dapat selesai pada 2024.

“Sektor prioritas dalam pencapaian target NDC serta upaya menuju Net Zero Emission di Indonesia ini yaitu sektor Kehutanan dan Tata Guna Lahan atau FOLU (Forest and Other Land Uses), Energi, Limbah, IPPU (Industrial Process and Production Uses) dan pertanian. Sektor FOLU dan Energi merupakan 2 sektor dengan target penurunan terbesar, mengingat kedua sektor ini memiliki target penurunan emisi terbesar, untuk sektor kehutanan sebesar 500 juta ton CO2e (17,4% CM1) atau 729 juta ton CO2e (25,4% CM2) dan energi sebesar 358 juta ton CO2e (12,5% CM1) atau 446 juta ton CO2e (15,5% CM2),” jelas Laksmi.

Kata Laksmi, pemerintah saat ini sedang bekerja keras untuk penurunan emisi GRK sektor energi setelah usaha-usaha Indonesia di sektor FoLU yang terus dikelola. Sektor energi sedang memacu keras penurunan emisi GRK dengan strategi mencapai Nett-Zero Emission (NZE) yaitu elektrifikasi, moratorium PLTU, membangun sumber energi baru dan Energi Baru Terbarukan (EBT) serta penerapan efisiensi energi. Kerja keras yang luar biasa berat.

Untuk mewujudkan target tersebut, Laksmi menambahkan, Indonesia terus berupaya mengoptimalkan program-program dalam pengurangan emisi gas rumah kaca. Selain melalui kebijakan dan arah pembangunan yang berkelanjutan, Indonesia terus meluncurkan inovasi hingga ke tingkat tapak.

Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Alam Kementerian PPN/Bappenas, Vivi Yulaswati mengatakan, penggabungan prinsip-prinsip Environmental, Social, and (Corporate) Governance (ESG) dapat memperluas akses keuangan karena investor yang berkelanjutan tidak hanya melihat keuntungan finansial

Menurut Vivi, peringkat ESG dapat mempermudah akses keuangan Investor, dana, dan lembaga keuangan semakin mempertimbangkan kinerja ESG perusahaan.

“Konsep ESG menjadi paradigma baru dalam penciptaan nilai dalam bisnis. Konsep ini dapat menawarkan pendekatan yang luas untuk mitigasi risiko dan penciptaan nilai. Berkembangnya peraturan dan standar yang mendorong adopsi ESG di sepanjang rantai nilai, mendorong kesadaran investor,” jelas Vivi.

Dalam upaya mencapai agenda pembangunan berkelanjutan di Indonesia, Vivi menjelaskan, pemerintah dan regulator keuangan Indonesia sejauh ini telah mengeluarkan beberapa pedoman, kerangka kerja, dan peraturan, antara lain Taksonomi Hijau Indonesia yang mendorong fokus pada penciptaan nilai ESG. Taksonomi ini mengklasifikasikan kegiatan ekonomi untuk memandu industri dan investor dalam mempertimbangkan bagaimana transformasi hijau dapat dicapai.