PN Jakarta Selatan Gelar Sidang Praperadilan Harun Masiku Hari Ini

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.
Sejumlah poster buronan Harun Masiku ditempelkan oleh para aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (15/1/2024).
Penulis: Ira Guslina Sufa
29/1/2024, 10.34 WIB

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) hari ini dijadwalkan menggelar sidang perdana gugatan praperadilan yang diajukan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) terhadap KPK. Gugatan itu diajukan atas lambatnya kinerja KPK menangkap Harun Masiku setelah empat tahun buron.

Humas PN Jaksel Djuyamto mengatakan sidang dijadwalkan pukul 10.00 WI. Sidang dipimpin oleh Hakim Tunggal Abu Hanifah.

“Perkara teregistrasi dengan Nomor 10/Pid.Pra/2024/PN JKT.SE, sidang pertama Senin tanggal 29 Januari 2024,” kata Djuyamto seperti dikutip Senin (29/1). 

Pemohon yang turut menggugat KPK selain MAKI, yakni Lembaga Pengawasan Pengawalan dan Penegakan Hukum Indonesia. Adapula Lembaga Kerukunan masyarakat Abdi Keadilan Indonesia (KEMAKI).

Koordinator MAKI Boyamin Saiman menyampaikan pihaknya telah hadir di PN Jaksel untuk menghadiri sidang pertama gugatan Praperadilan yang dilayangkan. 

“Berdasarkan surat panggilan dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, hari ini akan dilangsungkan sidang perdana gugatan Praperadilan yang diajukan MAKI lawan KPK,” kata Boyamin. 

Menurut Bonyamin lambatnya penanganan penangkapan Harun Masiku oleh KPK lebih karena tidak adanya kemauan. “Tidak mampu karena tidak mau,” ujarnya.

Boyamin menyindir KPK tidak punya kemampuan karena dugaan berbagai tekanan politik. Padahal menurut dia semestinya mudah melakukan penangkapan Harun Masiku atau menemukan keberadaannya baik masih hidup maupun sudah meninggal.

“Atas ketidakmampuannya maka KPK harus digugat untuk mendapatkan perintah dari Hakim melakukan pencarian maksimal,” kata Boyamin.

Bonyamin menilai, melalui gugatan praperadilan KPK tidak akan berdalih lagi jika telah mendapatkan perintah hakim yang memutuskan praperadilan tersebut. Harun Masiku ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam perkara dugaan pemberian hadiah atau janji kepada penyelenggara negara terkait penetapan calon anggota DPR RI terpilih periode 2019-2024 di KPU RI.

Peringatan 4 tahun Harun Masiku hilang (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.)

 

Duduk Perkara Harun Masiku hingga Jadi Buronan KPK 

Harun Masiku ditetapkan KPK sebagai tersangka dalam perkara dugaan pemberian hadiah atau janji kepada penyelenggara negara terkait penetapan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat terpilih periode 2019-2024 di KPU RI. Meski demikian, Harun Masiku selalu mangkir dari panggilan penyidik KPK hingga dimasukkan dalam daftar pencarian orang (DPO) sejak 17 Januari 2020.

Selain Harun, pihak lain yang terlibat dalam perkara tersebut adalah mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Periode 2017-2022 Wahyu Setiawan. Wahyu Setiawan juga merupakan terpidana dalam kasus yang sama dengan Harun Masiku dan saat ini tengah menjalani bebas bersyarat dari pidana 7 tahun penjara di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Kedungpane Semarang, Jawa Tengah.

KPK menjebloskan Wahyu Setiawan ke balik jeruji besi berdasarkan putusan MA Nomor: 1857 K/ Pid.Sus/2021 jo putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor: 37/Pid.Sus-TPK/2020/PT DKI jo putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor: 28/Pid.Sus-TPK/2020/PN.Jkt.Pst tanggal 24 Agustus 2020 yang telah berkekuatan hukum tetap.

Terpidana Wahyu Setiawan juga dibebani kewajiban membayar denda sejumlah Rp 200 juta. Bila denda tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan. Wahyu juga dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik dalam menduduki jabatan publik selama 5 tahun terhitung setelah selesai menjalani pidana pokok.

Sebelumnya, amar putusan kasasi terhadap Wahyu Setiawan adalah menjatuhkan pidana penjara selama 7 tahun dan pidana denda sebesar Rp 200 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah pencabutan hak politik dalam menduduki jabatan publik selama 5 tahun terhitung setelah selesai menjalani pidana pokok.

Meski majelis kasasi menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh tim Jaksa Penuntut Umum (JPU), namun khusus permohonan pencabutan hak politik dalam menduduki jabatan publik bagi Wahyu telah dipertimbangkan dan diputus sebagaimana permohonan dari tim JPU dalam memori kasasi yang sebelumnya telah diajukan kepada MA.

Dalam persidangan tingkat pertama di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 24 Agustus 2020, majelis hakim memutuskan Wahyu divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp 150 juta subsider 4 bulan kurungan. Majelis hakim pun memutuskan tidak mencabut hak politik Wahyu pada masa waktu tertentu seperti tuntutan JPU KPK.

Kemudian pada 7 September 2020, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menjatuhkan vonis 6 tahun penjara bagi Wahyu atau masih lebih rendah dibanding tuntutan JPU KPK yang menuntut agar Wahyu divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan.

Putusan banding tersebut tidak menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik bagi Wahyu selama 4 tahun setelah menjalani hukuman pidana seperti yang dituntut KPK. Sedangkan kader PDI Perjuangan Agustiani Tio Fridelina yang ikut menerima suap Rp 600 juta dari Harun Masiku bersama-sama dengan Wahyu divonis 4 tahun penjara.

Dalam perkara ini, Wahyu dan Agustiani terbukti menerima uang sebesar 19 ribu dolar Singapura dan 38.350 dolar Singapura atau seluruhnya Rp600 juta dari kader PDIP Harun Masiku yang saat ini masih buron. Tujuan penerimaan uang tersebut agar Wahyu dapat mengupayakan KPU menyetujui permohonan Penggantian Antar-Waktu (PAW) Anggota DPR RI PDI Perjuangan dari Dapil Sumatera Selatan 1, yakni Riezky Aprilia kepada Harun Masiku.



Reporter: Ade Rosman