Prabowo Subianto saat ini tengah mempersiapkan koalisi besar untuk menyongsong pemerintahan yang dipimpinnya pada Oktober 2024. Salah satu partai yang dibidik untuk bergabung adalah Partai Nasdem.
Rencana Prabowo untuk membentuk koalisi besar dianggap sebagai langkah relevan dalam mewujudkan sejumlah program strategis selama masa pemerintahannya pada periode 2024-2029.
Pakar Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati menilai pembentukan koalisi besar saat ini adalah bagian dari upaya rekonsiliasi politik sekaligus penjajakan. Risikonya adalah potensi ruang ekspresi oposisi yang kecil.
Wasisto beranggapan bahwa pembentukan koalisi besar dapat mendatangkan dampak positif, seperti mempercepat proses pembuatan dan pengesahan kebijakan.
"Saya kira koalisi besar jangan hanya dimaknai sebagai bentuk keanggotaan, namun juga apa yang tujuan besar dari pembenukan koalisi ini," ujar Wasisto saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Selasa (26/3).
Direktur Trias Politika Strategis, Agung Baskoro mengatakan dukungan 9 partai politik kepada pasangan Prabowo-Gibran belum dapat dimasukkan dalam ketegori koalisi besar. Ini karena ada partai pengusung Prabowo-Gibran yang tak lolos parlemen.
"Karena nanti yang dihitung ketika voting adalah kursi di parlemen. Koalisi besar itu minimal menguasai 60% dan maksimal 80% kursi DPR," kata Agung.
Pasangan Prabowo-Gibran saat ini mendapat dukungan dari kuartet partai parlemen dan 5 partai non parlemen. Empat partai parlemen itu yakni Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Demokrat.
Sementara lima partai non parlemen yang mengusung Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024 adalah PBB, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Gelora, Partai Garuda dan Partai Prima.
Meski mendapat dukungan dari 9 partai politik, Prabowo-Gibran baru menggenggam kurang dari separuh suara parlemen. Gabungan perolehan suara Koalisi Indonesia Maju menorehkan suara 43,18% dari komposisi 4 partai politik yang lolos ke parlemen masa 2024-2029.
Anggota partai KIM yang terbang ke parlemen terdiri dari Partai Golkar, Gerindra, Demokrat dan Partai Amanat Nasional (PAN). Golkar meraih 23.208.654 coblosan atau 15,29% suara, Gerindra mendapatan 20.071.708 suara atau 13,22%, Demokrat mampu menjaring 11.283.160 pemilih atau 7,43% suara dan PAN dengan 10.984.003 coblosan atau 7,24% suara.
Persentase kursi parlemen yang dipegang oleh KIM saat ini masih berada di bawah partai yang tak mengusung Prabowo. Jumlah perolehan suara partai pengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD mencapai 45,4%.
Prabowo sebelumnya sudah menemui Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh di NasDem Tower Jakarta pada Jumat, 22 Maret lalu. Prabowo hadir bersama dengan Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad dan Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani.
Pada pertemuan tersebut, Prabowo dan Surya Paloh tampak saling bersalaman dan berpelukan. Pertemuan dengan partai non-koalisi itu dimaksudkan sebagai bentuk implementasi politik dari Prabowo yang hendak mengedepankan persatuan dan kesatuan.
Jika Nasdem bergabung, maka suara Koalisi Indonesia Maju di parlemen menjadi 52,84%. Agung berpendapat, Prabowo-Gibran masih harus mengajak beberapa partai lawan untuk bergabung ke dalam Koalisi Indonesia Maju.
Dia mengatakan, Prabowo-Gibran juga harus menggandeng PKB dan PKS untuk masuk ke dalam koalisi. Ini untuk mengantisipasi adanya potensi pengikisan suara di Senayan.
"Kalau di bawah 60%, khawatir jika salah satu partai main dua kaki, maka koalisinya menjadi minimalis," ujar Agung.
Keinginan Prabowo untuk mewujudkan misi politik 'merangkul semua' digaungkan saat Ketua Umum Partai Gerindra itu menyampaikan pidato kemenangan di Istora Senayan, Gelora Bung Karno pada 14 Februari lalu.
Agung melihat langkah itu cenderung mendesak sebagai upaya untuk mewujudkan program unggulan makan siang dan susu gratis yang membutuhkan dana yang tak sedikit.
"Di masa awal pemerintahan Prabowo-Gibran, mereka ingin berupaya untuk menghadirkan kebijakan populis, apalagi ada program makan siang dan susu gratis," kata Agung.
Di sisi lain, Agung mengatakan perlu adanya partai oposisi di parlemen agar menjaga fungsi pengawasan legislatif. Dia mengatakan PDIP dapat menjadi figur sentral oposisi dalam lima tahun ke depan.
"Jangan sampai mayoritas kekuatan politik di parlemen pada akhirnya membuat kritik legislatif menjadi tumpul. Pengawasan semakin berkurang dan posisi masyarakat sipil melemah, ini berbahaya," ujar Agung.
Parpol akan Ajukan Sejumlah Nama Menteri
Di sisi lain, Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Afriansyah Ferry Noor mengatakan kondisi koalisi besar pendukung Prabowo-Gibran cenderung mendatangkan dampak positif.
"Tinggal bagaimana kearifan Pak Prabowo untuk mengatur komposisi secara proporsional," kata Ferry saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Senin (25/3).
Dia juga mengatakan belum ada pembicaraan khusus mengenai pembagian kursi menteri atau kepala lembaga kepada para pendukung yang tergabung dalam struktur TKN atau pejabat partai di Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Afriansyah menjelaskan, mekanisme pembagian jatah kursi menteri maupun kepala lembaga untuk para pendukung kubu 02 di Pilpres 2024 akan mengikuti prosedur saat pemilihan sosok wakil presiden pendamping Prabowo.
Penentuan alokasi kursi menteri dan jabatan tinggi lainnya akan menjadi pembahasan terbatas antara Prabowo-Gibran dan para ketua umum dan sekretaris jenderal (sekjen) partai pengusung.
"Kami ketua umum dan sekjen partai diminta untuk menuliskan nama-nama," ujar Ferry.