Budi Arie menanggapi dengan santai dan enteng soal desakan mundur itu.
“Itu haknya masyarakat untuk bersuara," kata Budi kepada wartawan di Komplek Parlemen usai rapat kerja dengan Komisi I DPR RI, Jakarta, Kamis (27/6).
Budi menjelaskan peretasan kepada PDN hingga kini belum terbukti disertai kebocoran data. "Kami tidak ada indikasi dan belum ada bukti terjadinya kebocoran data,” kata Budi.
Ketua Umum Relawan Jokowi atau Projo ini juga menjelaskan serangan siber ke PDNS II bukanlah serangan atas nama negara atau state actor. Penyerangnya adalah dari pribadi atau kelompok alias non state actor.
“Di forum ini saya ingin tegaskan bahwa kesimpulannya, mereka ini non state actor dengan motif ekonomi. Itu udah Alhamdulillah dulu, karena kalau yang menyerang negara, berat,” katanya dalam rapat kerja.
Pernyataan Budi Arie ini menuai kritik karena dianggap mengerdilkan peretasan PDN. “Saya prihatin bapak bersyukur di tengah serangan yang hebat begini bagi negara, bapak mengucap alhamdulillah,” kata anggota Komisi I DPR RI Fraksi PKS, Sukamta.
Ia lalu memaparkan data Badan Intelijen Strategis atau BAIS TNI serta Inafis Polri juga sudah bocor. Data intelijen ini diperjualbelikan secara bebas, bahkan bisa diunduh. “Jangan mengecilkan, Pak,” kata Sukamta.
Desakan Budi Arie mundur salah satunya datang dari SAFEnet lewat laman Change.org pada 26 Juni. Hingga 28 Juni pukul 10.10 WIB, petisi ini sudah ditandatangani oleh 6.184 orang dari target 7.500.
“Sebanyak 4.468 orang memberi tanda tangan pada hari ini (28/6),” demikian dikutip.
Dalam petisi tersebut, SAFEnet menyebutkan bahwa pemerintah lebih banyak diam dan tidak terbuka selama tiga hari sejak Pusat Data Nasional Sementara mengalami serangan siber pada 17 Juni sekitar tengah malam.
“Padahal, serangan siber dan dampaknya seharusnya termasuk informasi publik yang harus disampaikan dengan segera secara terbuka,” demikian dikutip.
SAFEnet menyampaikan, serangan siber ke sistem Pemerintah bukanlah pertama kali terjadi. Sebelumnya serangan siber dan kebocoran data pribadi terjadi pada sejumlah lembaga pemerintah, termasuk Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dan lainnya.
Data pribadi pemilih yang ditawarkan melalui forum jual beli data itu mencakup nama lengkap, tanggal lahir, jenis kelamin, nomor induk kependudukan (NIK), dan alamat lengkap.
Menurut pemantauan SAFEnet, selama dua tahun terakhir terjadi 113 kali kebocoran data pribadi. Sebanyak 36 kali pada 2022 dan 77 kali tahun lalu. Jumlah itu jauh lebih sedikit dibandingkan temuan lembaga keamanan siber Surf Shark yang menemukan lebih dari 143 juta akun di Indonesia menjadi korban kebocoran data hanya sepanjang tahun lalu.
“Jumlah tersebut membuat Indonesia berada di urutan ke-13 secara global sebagai negara yang paling banyak mengalami kebocoran data,” demikian dikutip.
Menurut SAFEnet, sebagai lembaga negara yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan data dan informasi, termasuk keamanannya, sudah seharusnya Kominfo bertanggung jawab terhadap serangan ransomware pada Pusat Data Nasional Sementara.
“Untuk itu, Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi harus mundur sebagai pertanggungjawaban dan meminta maaf secara terbuka terhadap situasi ini. Selain itu, Kominfo dan BSSN harus mengaudit keamanan semua teknologi dan sumber daya manusia keamanan siber negara yang saat ini digunakan,” demikian dikutip.