Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menemukan 300 kasus perundungan atau bullying di sekolah spesialisasi kedokteran. Angka ini didapatkan dari hasil pemeriksaan ribuan pengaduan yang diterima Kemenkes setelah insiden bunuh diri dokter Aulia Risma Lestari, mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi di Universitas Diponegoro (Undip).
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengatakan pihaknya telah menerima banyak aduan terkait kasus perundungan di sekolah spesialisasi kedokteran. Dia menjelaskan laporan tersebut segera mendapat tanggapan oleh Kemenkes tetapi tidak langsung diungkapkan ke publik karena sifat kasus yang cenderung sensitif.
Menurut Dante, Kemenkes perlu memastikan adanya bukti yang kuat sebelum mengambil kesimpulan lebih lanjut terhadap setiap kasus perundungan yang dilaporkan. “Ada sekitar 1.000 lebih laporan perundungan yang Kemenkes klarifikasi, ternyata sebagian besar bukan perundungan, yang memang benar perundungan itu sekitar 30%. Kira-kira sudah ada 300 kasus perundungan,” kata Dante di Istana Merdeka Jakarta pada Selasa (3/9).
Kemenkes juga berupaya untuk menekan angka perundungan mahasiswa di sekolah spesialisasi kedokteran. Selain melaksanakan investigasi di Undip, Kemenkes juga melakukan investigasi di Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Sumatera Utara, Universitas Sriwijaya Sumatera Selatan hingga Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. “Kami juga investigasi ke semuanya kok,” ujar Dante.
Sebelumnya, kematian dokter Aulia menjadi sorotan lantaran disebabkan oleh perudungan. Kasus ini diduga menjadi akar masalah yang sudah lama terjadi di dunia pendidikan dokter, terutama dokter spesialis Tanah Air.
Kemenkes menemukan dugaan adanya permintaan uang di luar biaya pendidikan resmi oleh senior kepada dokter Aulia Risma Lestari. Aulia merupakan mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi di Undip yang meninggal dunia karena bunuh diri.
Juru Bicara Kemenkes, Mohammad Syahril, menyebutkan permintaan uang terjadi sejak mendiang dokter Aulia masih berada di semester 1 pendidikan. Kejadian diperkirakan terjadi antara Juli hingga November 2022.
"Permintaan uang ini berkisar antara Rp 20 – Rp 40 juta per bulan," kata Syahril, dikutip dari keterangan tertulis pada Senin (2/9).
Dalam proses investigasi yang dilakukan oleh Kemenkes, besaran pungutan ini sangat membebani almarhumah dan keluarganya. Diduga, beban finansial ini adalah salah satu penyebab utama tekanan yang dialami mendiang dalam pembelajaran, karena ia tidak menyangka akan ada pungutan sebesar itu.
Syahril menambahkan bahwa almarhumah Aulia Risma juga pernah bertugas sebagai bendahara angkatan. Ia mengumpulkan pungutan dari teman seangkatannya dan menyalurkan dana untuk kebutuhan non-akademik, seperti membayar penulis naskah akademik, menggaji petugas kebersihan, dan kebutuhan lainnya untuk senior.