Mengapa Prancis, Inggris, dan Kanada Kini Dukung Kemerdekaan Palestina?

Reuters/Leon Neal
Perdana Menteri Inggris dan Presiden Prancis Emmanuel Macron. Foto: Reuters/Leon Neal
31/7/2025, 14.56 WIB

Sejumlah negara Barat seperti Prancis, Inggris dan Kanada menyampaikan dukungan terhadap kedaulatan negara Palestina. Presiden Prancis Emmanuel Macron, Perdana Menteri (PM) Inggris Keir Starmer, dan PM Kanada Mark Carney berkomitmen untuk mendukung kemerdekaan Palestina pada sidang majelis umum PBB di New York, AS, pada September mendatang.

Mark Carney mengatakan Kanada bakal bekerja sama dengan negara-negara lain dalam menyusun rencana perdamaian antara Israel dan Palestina. Ia menilai proses damai melalui negosiasi antara Israel dan Palestina sejauh ini tidak efektif karena sering mengalami kegagalan,

“Kanada bermaksud mengakui Negara Palestina pada Sidang Umum PBB ke-80 pada September 2025,” kata Mark Carney dalam siaran pers pada Rabu (30/7).

Dukungan Prancis, Inggris, dan Kanada selaku negara anggota G7 atas kemerdekaan Palestina didasari oleh sejumlah alasan seperti komitmen terhadap solusi dua negara atau two state solution. Ini artinya mereka berharap Palestina dan Israel dapat hidup berdampingan.

Selain itu, dukungan kemerdekaan Palestina juga didasari untuk menjaga stabilitas politik dalam negeri. Prancis misalnya, yang memiliki populasi Muslim dan Yahudi terbesar di Eropa Barat berpotensi menghadapi risiko ketegangan sosial jika tidak mengambil sikap tegas terhadap konflik di Timur Tengah.

Meski begitu, dukungan yang diberikan oleh Kanada, Prancis, dan Inggris memuat sejumlah syarat tertentu. Kanada mendorong agar otoritas Pelestina harus mereformasi sistem pemerintahan.

Mark Carney secara khusus meminta agar pelaksanaan Pemilu 2026 tanpa keterlibatan Hamas. Pemerintah Kanada juga mendesak Hamas membebaskan sandera, melucuti senjata, dan tidak terlibat dalam pemerintahan masa depan Palestina.

Dilansir dari sejumlah sumber, berikut sejumlah faktor yang mendasari dukungan terhadap Palestina:

Komitmen Two State Solution

Kanada, Inggris dan Prancis menyatakan sejak lama telah mendukung berdirinya negara Palestina yang dapat hidup berdampingan dengan Israel. Mereka menilai pendekatan mewujudkan two state solution kini menghadapi tantangan serius setelah konflik bersenjata antara Hamas dan Israel pada 7 Oktober 2023.

Kanada menilai sulitnya mencapai solusi dua negara juga disebabkan oleh langkah Israel yang mempercepat pembangunan kawasan permukiman Yahudi di wilayah Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Langkah ini turut dibarengi dengan meningkatnya kekerasan pemukim terhadap warga Palestina.

Israel dinilai tidak berupaya sungguh-sungguh untuk menghentikan krisis kemanusiaan di Jalur Gaza yang memicu kelangkaan makanan, air bersih, obat-obatan, dan layanan kesehatan lainnya bagi warga Palestina. Kerusakan infrastruktur akibat serangan militer juga menyebabkan situasi kemanusiaan di Gaza semakin buruk.

Mencegah Konflik Domestik

Melansir laporan majalah berita mingguan berbahasa Inggris yang diterbitkan oleh perusahaan India, TheWeek, Presiden Prancis Emmanuel Macron juga menyuarakan kekhawatiran tentang kemungkinan konflik Israel-Palestina bisa memicu ketegangan sosial di dalam negeri.

Tesis ini berangkat dari kondisi struktur sosial Prancis yang merupakan suaka bagi komunitas Yahudi dan Muslim terbesar di Eropa. Konflik luar negeri dinilai bisa menjadi pemicu polarisasi di dalam negeri. 

“Sesuai dengan komitmen historisnya terhadap perdamaian yang adil dan abadi di Timur Tengah, saya telah memutuskan bahwa Prancis akan mengakui negara Palestina,” tulis Macron.

Kalkulasi politik domestik dan tekanan internal turut mendorong Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, menyuarakan dukungan terhadap kemerdekaan Palestina.

Pada Juli 2025, sebanyak 59 anggota parlemen dari Partai Buruh (Labour Party) menandatangani surat yang ditujukan kepada Menteri Luar Negeri David Lammy. Surat tersebut mendesak pemerintah segera mengakui negara Palestina sebagai respons atas dugaan rencana “pembersihan etnis” terhadap warga Gaza.

Pemberitaan Al Jazeera pada 12 Juli lalu menuliskan bahwa surat tersebut berisi kritik terhadap ide Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, yang merancang pemindahan 2,1 juta warga Palestina di Jalur Gaza.

Sejumlah anggota parlemen Inggris dari Partai Buruh tersebut menilai rencana ini sebagai praktik relokasi paksa yang berarti pembersihan etnis atau pengosongan Gaza dari penduduk sipil Palestina.

“Kita tidak bisa tinggal diam saat warga sipil Palestina menghadapi krisis yang mengancam kehidupan dan keberadaan mereka.” bunyi pernyataan dalam surat yang disusun oleh organisasi Labour Friends of Palestine and the Middle East, yang dipimpin bersama oleh anggota parlemen Sarah Owen dan Andrew Pakes.

Perubahan Lanskap Diplomasi

Adel Bakawan, peneliti asosiasi di Institut Hubungan Internasional Prancis (IFRI) mengatakan langkah Macron merupakan evaluasi atas diplomasi Prancis di masa depan. Menurutnya, Paris kini berusaha menyelaraskan diri dengan negara-negara yang disebut "Global Selatan".

Jika terealisasi, maka Prancis akan menjadi negara G7 pertama yang resmi mengakui Palestina. "(Macron melihat peluang) menawarkan perspektif lain, langkah politik ke depan," kata Bakawan dikutip dari France 24.

Kebut Akses Bantuan ke Gaza

PM Kanada Mark Carney menyampaikan negaranya telah mengalokasikan lebih dari US$ 340 juta dalam bentuk bantuan kemanusiaan untuk mengatasi krisis di Gaza.

Sokongan dana itu juga termasuk pendanaan baru sebesar US$ 30 juta untuk memenuhi kebutuhan warga sipil Palestina, serta $10 juta untuk mendukung Otoritas Palestina dalam mengelola wilayah Tepi Barat.

Presiden Prancis Emmanuel Macron dan PM Inggris Keir Starmer juga mendesak Israel untuk membuka akses bantuan kemanusiaan tanpa hambatan ke Gaza guna mengakhiri krisis kemanusiaan yang semakin memburuk.

Baca artikel ini lewat aplikasi mobile.

Dapatkan pengalaman membaca lebih nyaman dan nikmati fitur menarik lainnya lewat aplikasi mobile Katadata.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu