Sertifikasi Kebun Sawit Indonesia Masih Harus Digenjot

Arief Kamaludin|KATADATA
Petani memanen buah kelapa sawit di salah satu lahan perkebunan kelapa sawit di Desa Delima Jaya, Kecamatan Kerinci, Kabupaten Siak, Riau.
Penulis: Michael Reily
Editor: Pingit Aria
29/11/2017, 17.14 WIB

Luas kebun sawit yang bersertifikat ramah lingkungan masih terbilang rendah. Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) mencatat, luas tanam sawit berkelanjutan di Indonesia pada Juni 2017 sebesar 1,72 juta hektare. Jumlah itu baru sekitar 14% dibandingkan luas keseluruhan kebun sawit yang mencapai 11,67 juta hektare..

Sementara, Parlemen Uni-Eropa terus mendorong sertifikasi tunggal untuk kelapa sawit berkelanjutan pada 2020. Satu standar bakal dibuat sebagai penyetaraan level keberlanjutan untuk produk kelapa sawit.

RSPO sebagai asosiasi kepengurusan sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan menganggap rencana sertifikat tunggal bakal meningkatkan kompetensi.  “Saya pikir itu tugas setiap pemerintah untuk mempertimbangkan standar keberlanjutan,” kaya Chief Executive Officer (CEO) RSPO Datuk Darrel Webber saat konferensi pers lewat sambungan video dari Bali, Rabu (29/11).

Menurutnya, standar Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) atau Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) penting karena menggambarkan kepedulian tiap pihak terhadap isu keberlanjutan. Sebab, Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara produsen minyak sawit terbesar di dunia.

Kebun Sawit Berkelanjutan di NegaraLuas Lahan 2016Luas Lahan 2017
Indonesia1,54 juta hektare1,72 juta hektare
Malaysia756,59 ribu hektare945,62 ribu hektare
Amerika Latin258,18 ribu hektare286,68 ribu hektare
Asia Pasifik (selain ketiga wilayah)235,95 ribu hektare230,36 ribu hektare
Afrika32,38 ribu hektare55,15 ribu hektare

Webber mengungkapkan, hal paling penting untuk kelapa sawit berkelanjutan bukan bentuk standar sertifikasi, namun dampak langsung terhadap keberlanjutan untuk masa depan. “Hal yang paling penting adalah perubahan kecil yang membuat lingkungan terlindung lebih baik,” ujarnya.

Meski begitu, dia menjelaskan ada tiga hal yang diperhatikan RSPO untuk menetapkan sertifikasi. Ketiga prinsip merupakan bentuk koordinasi dengan aturan sertifikasi yang ditetapkan tiap negara.

Pertama, memperhatikan hukum lokal yang ditetapkan tiap negara. “Di Indonesia, menanam kelapa sawit di lahan gambut adalah hal yang ilegal sehingga kami tidak akan memberikan sertifikat untuk hal tersebut,” tutur Webber.

(Baca juga:  Jokowi Perintahkan Peremajaan 75% Perkebunan Sawit Rakyat)

Kedua, RSPO memperhatikan penelusuran jejak untuk produksi, distribusi, dan konsumsi kelapa sawit berkelanjutan. Alasannya, mereka menggandeng 7 pihak dalam rantai sawit, yaitu produsen, pengolah, pedagang, pengecer, bank, investor, dan lembaga swadaya masyarakat.

Ketiga, sistem komplain dibutuhkan sebagai bentuk peningkatan kompetensi. Tujuannya, supaya RSPO menjadi organisasi yang independen.

Webber menjelaskan tidak menargetkan peningkatan sertifikasi di Indonesia. Namun, dia mengaku jumlah anggotanya terus melonjak. Secara keseluruhan, RSPO telah memberikan sertifikat kepada 3,5 juta hektare lahan di seluruh dunia.

Cakupannya adalah 12,15 juta metrik ton yang menjadi 17% industri minyak kelapa sawit dunia. Anggota industri telah mencapai lebih dari 3 ribu anggota.

Reporter: Michael Reily