Perkembangan teknologi digital menjanjikan kemudahan bertransaksi perbankan. Namun di pihak lain, ada juga ancaman keamanan yang harus diwaspadai. Survei lembaga audit dan konsultan ekonomi  PricewaterhouseCoopers (PwC) menunjukkan, perbankan Indonesia telah kehilangan hingga ratusan juga dolar akibat serangan siber.

Dalam riset bertajuk 'Digital Banking in Indonesia 2018' itu, sebanyak 14% responden menyebutkan, bahwa bank mereka kehilangan US$ 1 juta akibat serangan siber. Lalu 1% responden merugi US$ 100 juta karena kejahatan tersebut. Survei ini dilakukan terhadap 52 responden dari 43 bank di Indonesia.

Untuk mengatasi persoalan itu, bank fokus memperkuat kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di bidang teknologi. Salah satu yang diperkuat oleh bank adalah kepemimpinan dari Chief Technology Officer (CTO).

Selain itu, kejelasan mengenai pihak-pihak yang boleh membuka data nasabah diperlukan. "Yang menarik, ancaman siber itu justru berasal dari dalam (perusahaan)," kata Consulting Director at PwC Indonesia Rimko Nurral saat pemaparan hasil riset di Hotel Westin, Jakarta, Selasa (10/7).

(Baca juga: Dana Nasabah Hilang, Bank Mandiri Setop Layanan Mandiri Online)

Wakil Ketua Bidang SDM dan Teknologi Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Pudja Kartiman menambahkan, yang paling utama adalah perbankan memahami aliran data nasabah yang diperoleh. Dengan begitu, perbankan memahami betul di bagian mana saja data itu rentan untuk dicuri.

"Di luar regulasi, bank perlu tahu feasibilitas di titik-titik mana saja (dari alur transaksi data nasabah) yang perlu dilindungi," ujarnya.

Toh, 56% responden menargetkan kontribusi layanan digital di atas 5% terhadap total pendapatan perbankan. Untuk mencapai target tersebut, mayoritas bank fokus pada layanan konsumen (costumer services).

Untuk mencapai target tersebut, 82% responden fokus pada layanan konsumen. Lalu, sebanyak 68% fokus mengakuisisi atau meningkatkan jumlah konsumen. Oleh karenanya, 90% responden akan berinvestasi dalam hal digital banking selama dua hingga tiga tahun ke depan.

Selain itu, sebanyak 78% lainnya berinvestasi untuk big data, supaya memahami kebutuhan konsumennya. Kemudian 72% responden bakal mengembangkan situs interaktif (front-end web), aplikasi, ataupun e-banking. "Sebanyak 68% responen juga memilih berkolaborasi dengan financial technology (fintech)," kata Technology and Risk Consulting Leader at PWC Indonesia Chairil Tarunajaya.

(Baca: Gelar Investigasi, BRI Janji Ganti Dana Nasabah yang Raib)

Masuk ke bisnis digital dinilai sebagai keniscayaan bagi perbankan untuk memikat generasi millenial. Generasi ini sangat mengutamakan kemudahan dan kecepatan dalam bertransaksi. Bila mereka tidak mengakomodasi kebutuhan nasabah tersebut, pasarnya bisa tergerus. "Mereka masuk ke digital, minimal kerugian tidak bertambah," ujarnya.

Oleh karenanya, perbankan menggunakan banyak saluran untuk menjangkau lebih banyak konsumen. Sebanyak 70% menjangkau konsumen dengan membuka kantor cabang. Namun, 64% lainnya sudah menggunakan layanan mobile banking dan 56% pakai internet banking untuk menjangkau konsumen. Lalu, 24% meluncurkan laku pandai (digital branches).

Kemudian sekitar 22% responden memanfaatkan media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, Youtube, dan Linkedin untuk menjangkau konsumen. Rimko berpandangan, wajar jika ada bank yang masih menambah kantor cabang karena nasabahnya mayoritas masih memilih layanan ini. "Tapi ke depan bakal berkurang, karena konsumennya berubah," kata dia.

(Baca juga: Rutin Ganti PIN Kartu ATM Tak Cukup Cegah Pembobolan Rekening)

Reporter: Desy Setyowati