Berawal dari kegelisahan investor tambak udang yang ingin memantau bisnisnya dari jarak jauh, JALA Tech hadir memberikan solusi bagi investor dan penambak. Tak hanya itu, bisnis tambak udang menggunakan keandalan teknologi tersebut, digadang-gadang mampu memberikan cuan 30 % hingga 50 % setiap siklus panen.

Aryo Wiryawan, Co-Founder sekaligus Chairman JALA Tech semula memiliki bisnis tambak udang. Pada 2014 dia bersama rekannya berinisiatif untuk membuat sistem monitor tambak udang jarak jauh. Maklum, aktivitas monitoring tersebut cukup menguras tenaga lantaran Aryo tinggal di Yogyakarta, sementara tambak berada di Pekalongan.

Berangkat dari masalah tersebut, akhirnya Aryo mulai mencari rekanan di bidang elektro untuk membuat berbagai riset terkait beragam upaya budidaya tambak udang. Bahkan, risetnya bersama tim sempat memenangkan perlombaan. Dari sana Aryo dan tim mulai berinisiatif mengembangkan teknologi hasil risetnya untuk memudahkan para penambak udang Tanah Air.

CEO JALA Tech Liris Maduningtyas mengatakan, pada 2016 dirinya bergabung dalam lingkar perusahaan riset yang dipimpin Aryo tersebut. Usai melakukan berbagai survei di berbagai tambak udang, kemudian lahirlah JALA Tech untuk membantu penambak di Indonesia.

JALA Tech merupakan aplikasi manajemen budidaya tambak udang yang mampu membantu penambak memperoleh hasil budidaya secara maksimal. Penambak cukup memasukkan data-data pakan, kualitas air, data-data kematian, treatment atau perawatan tambak ke aplikasi.

Dengan mesin pintar JALA Tech, aplikasi akan mencatatkan perkembangan budidaya dan kondisi keuangan penambak. Selain itu, aplikasi akan memberikan prediksi waktu yang tepat untuk panen, berapa banyak potensi panen, pertumbuhan produksi, kebutuhan konsumsi pakan, hingga potensi keuntungan.

Di sisi lain, lewat aplikasi JALA Tech investor tambak udang di luar kota bisa memantau kondisi tambaknya dari jauh secara real time. Hal itu didukung internet of things alias IOT yang mendukung aplikasi melakukan pencatatan lebih mudah dan otomatis.  

Fun fact, 40 % ekspor  Indonesia itu, udang. Industrinya unik dan beda sendiri. Cuannya gede dan berdampak juga ke petambak kecil, menengah dan besar,” kata Liris dalam live Instagram Start-edgy yang dilaksanakan Katadata.co.id bersama Endeavor Scaleup Growth Program, Jumat (4/3).

Melansir Databoks, data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menunjukkan volume ekspor hasil perikanan mencapai 1,26 miliar kilogram (kg) dengan nilai US$ 5,2 miliar pada 2020. Di mana, udang menjadi komoditas ekspor paling besar dengan volume 239,28 juta kilogram atau setara US$ 2,04 miliar.

Volume ekspor udang 2020, tercatat naik 28,96 % dibandingkan capaian tahun sebelumnya yang hanya 207,7 juta kg. Udang juga memberikan kontribusi terhadap total volume ekspor hasil perikanan sebesar 18,95 % pada 2020.

Tambak Udang JALA Tech (JALA Tech)

Tingginya aktivitas ekspor tersebut, menjadi potensi investasi menarik untuk dilirik. Liris mengatakan, cuan dari budidaya tambak udang berkisar 30 % hingga 40 % dalam sekali siklus panen. Di mana, untuk sekali siklus panen membutuhkan waktu sekitar 3-4 bulan.

Bahkan, di awal-awal investasi, pemilik lahan baru tambak udang berpotensi balik modal hanya dalam waktu setahun. Namun, Liris mengungkapkan untuk saat ini butuh waktu 2-3 tahun untuk bisa balik modal. Salah satu penyebabnya, karena tingginya biaya sewa container yang tinggi.

“Tapi tetap saja, cuannya besar, hanya saja risikonya besar,” ujarnya.

Liris menyebutkan 70 % hasil tambak udang Jala Tech di ekspor ke Amerika Serikat, Jepang, Cina dan Eropa. Porsi tersebut cukup besar, mengingat Indonesia masuk ke dalam daftar lima besar eksportir udang di dunia.

Sementara itu, mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Liris mengatakan produksi udang Indonesia sebelum 2018 mencapai 500 ribu ton per tahun. Namun, capaian tersebut saat ini melambat dikisaran 300 ribu ton udang per tahun, lantaran risiko yang meningkat.

"Terbaru, harga sewa kontainer mahal, jadi berpengaruh ke harga udang. Tapi selama pandemi banyak penambak survive dan sukses, jadi ini masuk ke dalam industri yang bertahan," ujar Liris.

Ke depan, JALA Tech menargetkan pertumbuhan user 18 ribu, meningkat dari level awal 2022 di kisaran 12 ribu user. Selain itu, startup budidaya tambak ini juga menargetkan kenaikan kontribusi panen udang berkisar 6 ribu hingga 7 ribu ton. 

"Kalau tahun lalu, kita bantu panenin udang 1.100 ton udang. Kami juga akan ada bisnis baru akuisi tambak, akuisisi operasional tambak, targetnya (kontribusi panen) 2 ribu ton," katanya.

Tahun lalu, JALA Tech berhasil membukukan pendapatan sebanyak US$ 4,8 juta atau setara RP 69,12 miliar. Untuk tahun ini Liris menyatakan target pertumbuhan pendapatan bisa enam kali pertumbuhan atau sekitar US$ 28,8 juta. 

Untuk bisa mencapai target tahun ini, Liris mengaku ada berbagai tantangan yang perlu dihadapi, seperti tantangan edukasi pasar dengan teknologi baru JALA Tech. Di samping itu, masyarakat Indonesia juga banyak yang beranggapan bahwa udang mengandung banyak kolestrol, padahal semua makanan memiliki kolestrol. 

"Tapi kolestrol seafood, seperti udang termasuk kolestrol baik, tergantung mengolahnya," katanya. 

Di samping itu, sebagai enterpreneur alias wirausaha Tanah Air, Liris mengaku jaringan atau networking-nya di pasar domestik cenderung masih lemah. Namun sebaliknya, dia justru memiliki jaringan cukup luas di luar Indonesia. "Padahal network di dalam (negeri) penting, dan ini perlu saya kembangkan," ujarnya.