Peneliti dari BBC News mengungkapkan bahwa teknologi metaverse berbahaya bagi anak. Saat masuk ke dunia virtual, anak rawan mendapatkan pelecehan seksual, penghinaan rasis hingga ancaman pemerkosaan.
Penelaah yang tidak disebutkan namanya itu mengungkap bahaya metaverse setelah mencoba untuk menggunakan headset Virtual Reality (VR) Meta Quest dari Meta. Ia masuk ke aplikasi VRChat menggunakan Meta Quest dan menyamar sebagai gadis berusia 13 tahun.
VRChat merupakan aplikasi virtual yang dapat dijelajahi pengguna dengan avatar 3D. Saat peneliti masuk, ia hanya melakukan verifikasi akun Facebook.
Peneliti kemudian membuat profil palsu untuk mengatur akun. Identitas aslinya pun tidak diperiksa.
Saat peneliti masuk ke dalam VRChat, terdapat ruangan di mana pengguna dapat bertemu dengan orang lain secara virtual. Ada tempat-tempat seperti restoran cepat saji hingga klub malam.
"Anak-anak bebas bergaul dengan orang dewasa," kata peneliti BBC dikutip dari India Times, Kamis (24/2).
Peneliti mencoba berselancar lebih jauh di metaverse dan masuk ke tempat yang menghadirkan avatar sedang mensimulasikan seks. Ia juga diperlihatkan mainan seks dan kondom.
Penelaah itu kemudian didekati oleh banyak avatar pria dewasa.
Pengguna pria lain di VRChat kemudian memberi tahu peneliti bahwa avatar dapat telanjang dan melakukan hal-hal yang tak tidak patut dilakukan di dunia nyata. Pengguna lainnya berbicara tentang permainan peran erotis.
Setelah investigasi BBC itu, badan amal perlindungan anak Inggris atau National Society for the Prevention of Cruelty to Children (NSPCC) memperingatkan perbaikan pada teknologi metaverse. Ini terkait keamanan online, utamanya anak-anak.
Head of Child Safety Online Policy NSPCC Andy Burrows mengatakan, temuan BBC itu merupakan dampak luar biasa metaverse bagi anak. "Anak-anak dihadapkan pada pengalaman yang sama sekali tidak pantas, benar-benar sangat berbahaya," katanya dikutip dari BBC Internasional, Rabu (23/2).
Menurutnya, perusahaan teknologi harus belajar dari kesalahan yang dibuat oleh generasi pertama media sosial. "Ini produk berbahaya secara desain. Kami melihat produk diluncurkan tanpa ada saran bahwa keselamatan telah dipertimbangkan," katanya.
Sebelumnya, kasus pelecehan seksual di metaverse menimpa penggemar game VR asal Toronto bernama Chanelle Siggens. Ini terjadi ketika ia bermain gim VR berjudul Population One menggunakan perangkat Oculus dari Meta.
Saat mengaktifkan game, dia mengarahkan avatar ke lobi virtual yang imersif. Ia kemudian menunggu permainan dimulai.
Tapi saat dia menunggu, avatar pemain lain mendekatinya. Orang asing itu kemudian menirukan adegan meraba-raba dan ejakulasi ke avatarnya.
Ia terkejut dan meminta orang asing dengan avatar seperti laki-laki itu berhenti.
"Dia mengangkat bahu seolah-olah mengatakan: 'Saya tidak tahu harus berkata apa kepada Anda'. Ini adalah metaverse, saya akan melakukan apa yang saya inginkan," kata Siggens dikutip dari The New York Times, akhir tahun lalu (30/12/2021).
Juru bicara Meta Krstina Millian mengatakan, untuk keamanan di metaverse, sebenarnya perusahaan mempunyai fitur bernama 'Safe Zone'. Ini memungkinkan pengguna memblokir interaksi dengan pengguna lain.
Menurutnya, perusahaan juga bekerja dengan pembuat kebijakan, pakar dan mitra industri untuk pengembangan metaverse. Meta juga telah menginvestasikan US$ 50 juta dalam penelitian global untuk mengembangkan produknya secara bertanggung jawab.