Sederet Masalah Iklim Jadi PR Gubernur Jakarta: Polusi hingga Krisis Air

Muhammad Zaenuddin|Katadata
Lanskap suasana gedung diselimuti kabut polusi udara di Jakarta pada Selasa (22/8) masih buruk.
25/9/2024, 16.55 WIB

Warga Jakarta akan memilih gubernurnya dua bulan ke depan. Sederet pekerjaan rumah (PR) menanti calon pemimpin Jakarta, termasuk mengatasi krisis iklim. 

Juru Kampanye Isu Keadilan Urban Greenpeace Indonesia, Jeanny Sirait, mengatakan warga Jakarta saat ini berada di garis depan dampak krisis iklim yang mengancam kehidupan sehari-hari warganya. Hampir 20% wilayah Jakarta sekarang berada di bawah permukaan laut, sementara hanya 69% penduduk yang memiliki akses ke air bersih. 

Jeanny mengatakan, situasi ini diperparah oleh polusi udara yang terus memburuk, membuat kualitas hidup warga semakin terpuruk. Meskipun berbagai permasalahan ini merenggut kesejahteraan warga Jakarta, krisis iklim belum mendapatkan perhatian yang layak dalam perdebatan politik atau kebijakan publik.

"Sebagian besar calon Gubernur Jakarta sibuk menawarkan solusi jangka pendek hingga solusi palsu dalam menyelesaikan permasalahan di Jakarta," ujarnya dalam keterangan tertulis, dikutip Rabu (25/9).

Jeanny mengatakan, hasil riset Greenpeace menunjukan bahwa wilayah paling berat mengalami dampak krisis iklim di Jakarta justru merupakan yang ditinggali oleh masyarakat miskin kota atau urban poor. Padahal, mereka merupakan kelompok yang paling sedikit menyumbangkan emisi gas rumah kaca (GRK), faktor utama penyebab krisis iklim.

"Hal ini membuktikan bahwa tanggung jawab krisis iklim tersebut ditanggung secara tidak adil oleh masyarakat miskin di Jakarta, sehingga menjadikan mereka kelompok paling rentan terhadap dampak krisis iklim,” tutur Jeanny.

Di banyak tempat di Jakarta, kelompok rentan ini sering kali tersingkir dari proses perumusan kebijakan. Kebutuhan mereka jarang diperhitungkan dalam kebijakan-kebijakan utama kota, termasuk di bidang infrastruktur, transportasi, dan tata ruang. Hal ini semakin memperdalam ketimpangan sosial di tengah ancaman iklim yang semakin nyata.

Greenpeace menekankan bahwa Jakarta membutuhkan pendekatan yang jauh lebih adil dan inklusif dalam merumuskan kebijakan iklim. Peraturan Gubernur No. 90 Tahun 2021 tentang Rencana Pembangunan Rendah Karbon yang Berketahanan Iklim (RPRKD) masih banyak kelemahan dalam pelaksanaannya.

Salah satu yang paling kritis adalah kurangnya keterlibatan masyarakat terdampak dalam proses perumusan kebijakan. Tidak cukup hanya mengidentifikasi siapa yang paling rentan, mereka juga harus dilibatkan secara aktif dalam proses perencanaan dan implementasi kebijakan iklim.

Jeanny menegaskan bahwa Jakarta tidak hanya membutuhkan kebijakan mitigasi yang ambisius, tetapi juga kebijakan adaptasi yang adil. Nelayan di pesisir, warga di wilayah rawan banjir, dan kelompok-kelompok yang selama ini terpinggirkan harus menjadi bagian dari solusi, bukan sekadar korban dari kebijakan yang tidak inklusif. Jika kelompok-kelompok ini diabaikan, pembangunan hanya akan memperburuk ketidakadilan yang sudah ada.

Warga Pulau Pari di Kepulauan Seribu adalah contoh nyata dari mereka yang merasakan langsung dampak krisis iklim. Asmania, seorang nelayan perempuan dari pulau tersebut, berbagi tentang bagaimana warga menghadapi banjir rob, sulitnya mendapatkan ikan, cuaca yang tidak terprediksi, hingga konflik lahan yang tak kunjung selesai.

“Banyak sekali konflik yang kami hadapi di Pulau Pari. Pembangunan terus digaungkan seperti reklamasi, Proyek Strategis Nasional (PSN), hingga komersialisasi yang dilakukan oleh korporasi tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan—semua ini memperparah keadaan. Kami butuh laut yang bersih dan lingkungan yang lestari.”  tutur Asmania yang kerap disapa Aas.

Ia juga mengungkapkan bahwa selama ini warga Pulau Pari jarang dilibatkan dalam diskusi-diskusi penting yang menyangkut kehidupan mereka. Ketidakpedulian ini membuat mereka harus berjuang sendiri, secara swadaya, untuk melawan krisis iklim yang mengancam tanah dan laut yang menjadi tumpuan hidup mereka.

“Kebijakan yang ada seakan-akan dibuat tanpa memikirkan nasib nelayan dan masyarakat pesisir,” ujarnya.

Greenpeace melalui riset ini mendorong pemerintah untuk secara rutin mengevaluasi kebijakan iklim Jakarta dan memastikan alokasi sumber daya yang lebih memadai bagi kelompok rentan. Ini termasuk meningkatkan akses terhadap air bersih, Ruang Terbuka Hijau (RTH), dan infrastruktur transportasi publik yang inklusif.

Tanpa perhatian yang lebih serius terhadap kebutuhan kelompok rentan, pembangunan infrastruktur yang terus berlangsung di Jakarta justru berpotensi memperparah ketimpangan sosial dan krisis lingkungan.