Masyarakat Energi Baru Terbarukan Indonesia atau METI berharap pemerintah segera mendorong penggunaan energi baru terbarukan. Apalagi momentum pandemi corona telah menurunkan emisi karbon akibat mobilitas masyarakat yang berkurang.
Jika momentum tersebut tidak segera dimanfaatkan, transisi energi bersih bakal sulit terlaksana. Apalagi sejumlah wilayah telah melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSSB) yang menyebabkan mobilitas masyarakat kembali meningkat.
Di sisi lain, Indonesia memiliki komitmen untuk menurunkan emisi karbon hingga 29 persen. Oleh karena itu, Ketua Umum METI Surya Darma mengusulkan agar pemerintah juga mendorong penurunan emisi melalui pembangkit listrik.
Salah satu caranya dengan mengkaji kembali megaproyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW). Pembangunan pembangkit listrik yang tertunda, terutama pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), dapat diganti dengan pembangkit EBT.
"Misalkan program 35 ribu MW dilanjutkan semuanya atau ada perlu yang ditahan sesuai perkembangan Covid-19 yang terdampak. Kalau ini tertahan beberapa, mungkin bisa dilanjutkan dan renegosiasi ulang atau benar benar diganti pembangkit EBT," ujar Surye dalam diskusi secara virtual, Jumat (14/8).
Meski demikian, beberapa pengembang di sektor EBT mempunyai tantangan sendiri dalam serapan listrik ke PLN. Pasalnya, kontrak PLTU menggunakan skema take or pay (TOP) dalam perjanjian jual beli listrik.
Hal itu menyebabkan PLN lebih memilih menggunakan sumber energi dari batu bara. "Sedangkan kontrak EBT tidak menggunakan sistem TOP, tapi take and pay. Oleh karena itu, perlu kebersamaan untuk kita selesaikan ini," ujarnya.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat ada tujuh proyek pembangkit listrik 35 ribu megawatt yang terdampak pandemi virus corona. Ketujuh proyek dengan kapasitas sebesar 6.510 MW itu diproyeksi bakal mengalami keterlambatan jadwal operasi.
Ketujuh proyek tersebut terdiri dari lima proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), satu proyek listrik tenaga gas dan uap (PLTGU), dan satu Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Dari lima PLTU, pembangkit pertama yang diidentifikasi terhambat pengerjaannya yaitu PLTU Meulaboh 3 dan 4. Pengerjaan pembangkit berkapasitas total 400 MW itu terhambat karena tenaga kerja dan pengiriman material terdampak pandemi corona.
Kedua, PLTU MT Sumsel-8 dengan kapasitas 1.200 ME yang mengalami hambatan karena keterlambatan pengiriman material. Hingga 30 Juni 2020, pengerjaan pembangkit ini baru mencapai 39,38%.
Ketiga, proyek PLTU Jawa-1 dengan kapasitas 1.000 MW yang terkendala pengiriman material akibat pandemi corona. Sepanjang semester I 2020, progress pengerjaan proyek pembangkit ini baru mencapai 81,15%.
Keempat, PLTU Jawa-4 dengan total kapasitas 2.000 MW diidentfikasi bakal terhambat, karena mengalami keterlambatan pengiriman material dan tidak dapat memobilisasi engineer untuk pengerjaannya.
Kelima, proyek PLTU Kalbar-1 dengan kapasitas 200 MW yang terkendala karena tidak dapat memobilisasi engineer komisioning, dan mengalami keterlambatan pengiriman material. Adapun, per 30 Juni 2020 proyek ini tidak mengalami progress dan tetap di angka 96,69%.