Dalam suatu kasus korupsi tak jarang kita mendengar istilah gratifikasi. Tindakan ini mengarah pada pemberian sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan, jabatan, atau tugas.
Kendati terkesan negatif dan mengindikasikan adanya rencana yang merugikan masyarakat atau suatu kelompok, nyatanya tidak semua gratifikasi dilarang dan ilegal, melainkan ada yang bersifat legal dan diperbolehkan. Pada artikel kali ini akan dibahas lebih mendalam tentang apa itu gratifikasi.
Pengertian Gratifikasi
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gratifikasi adalah pemberian yang diberikan karena layanan atau manfaat yang diperoleh. Definisi serupa juga tertuang dalam situs resmi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Di situs resmi KPK, gratifikasi dikaitkan dengan pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, serta fasilitas lainnya.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan, melalui laman resminya menyebut gratifikasi sebagai "suap yang tertunda" atau "suap terselubung". Pegawai negeri (Pn) maupun penyelenggara negara (PN) yang terbiasa menerima gratifikasi memiliki kecenderungan untuk terlibat atau terjerumus melakukan korupsi bentuk lain, seperti pemerasan, suap, dan sebagainya.
Akar korupsi ini dilarang sebab dapat mendorong Pn/PN bersikap tidak objektif, tidak adil dan tidak profesional. Sehingga tidak dapat melaksanakan tugas sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab.
Beda Gratifikasi, Suap, dan Pemerasan
Meskipun serupa, antara suap, gratifikasi dan pemerasan memiliki perbedaan menonjol, seperti berikut:
- Gratifikasi: Berhubungan dengan jabatan, bersifat inventif (tanam budi), dan tidak membutuhkan kesepakatan (transaksional). Contohnya, pengusaha yang memberi hadiah voucher belanja kepada PNS karena merasa terbantu dalam pengurusan perizinan.
- Suap: Transaksional (pertemuan kehendak pemberi dan penerima), dan umumnya dilakukan secara tertutup. Contohnya, pengusaha menyuap pejabat pemerintah untuk mendapatkan proyek.
- Pemerasan: Adanya permintaan sepihak dari pejabat (penerima), bersifat memaksa, dan merupakan penyalahgunaan kekuasaan. Contohnya, pejabat memaksa calon peserta tender untuk memberikan sejumlah uang dengan ancaman jika tidak diberikan akan digugurkan dalam proses tender.
Dasar Pengaturan Gratifikasi
Meneruskan web.kominfo.go.id, gratifikasi adalah salah satu jenis tindak pidana korupsi baru yang diatur dalam Pasal 128 dan 12C UU Tipikor sejak tahun 2001. Namun, jika Pn atau PN yang menerima gratifikasi melaporkan pada KPK paling lambat 30 hari kerja, maka Pn/PN tersebut dibebaskan dari ancaman pidana gratifikasi.
Berikut pasal yang mengatur gratifikasi:
Pasal 12B
(1) Setiap gratifikasi kepada Pn/PN dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Yang nilainya Rp10.000.000 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. Yang nilainya kurang dari Rp10.000.000 pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilkakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi Pn/PN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000 dan paling banyak Rp1 miliar.
Pasal 12C
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
Gratifikasi yang Boleh dan Tidak Boleh Diterima
Pada dasarnya, semua gratifikasi yang diterima oleh Pn/PN wajib dilaporkan pada KPK, kecuali:
- Pemberian dari keluarga yang tidak memiliki benturan kepentingan dengan posisi apa pun jabatan penerima.
- Hadiah tanda kasih dalam bentuk uang atau barang yang memiliki nilai jual dalam penyelenggaraan upacara adat/ agama, seperti pernikahan dan kelahiran.
- Pemberian terkait dengan musibah atau bencana yang dialami penerima.
- Pemberian dari sesama pegawai dalam rangka pisah sambut, pensiun, promosi jabatan, ulang tahun, atau perayaan lainnya yang lazim dilakukan dalma konteks sosial sesama rekan kerja.
- Hidangan atau sajian yang berlaku umum.
- Prestasi akademis atau non akademis yang diikuti dengan menggunakan biaya sendiri seperti kejuaraan, perlombaan atau kompetisi tidak terkait kedinasan.
- Keuntungan atau bunga dari penempatan dana, investasi atau kepemilikan saham pribadi yang berlaku umum, dan lain sebagainya.
Sementara itu, gratifikasi yang tidak boleh diterima meliputi:
- Terkait dengan pemberian layanan pada masyarakat di luar penerimaan yang sah.
- Terkait dengan tugas dalam proses penyusunan anggaran di luar penerimaan yang sah.
- Terkait dengan tugas dalam proses pemeriksaan, audit, monitoring dan evaluasi di luar penerimaan yang sah.
- Terkait dengan pelaksanaan perjalanan dinas di luar penerimaan yang sah/resmi dari instansi.
- Dalam proses penerimaan/promosi/mutasi pegawai.
- Dalam proses komunikasi, negosiasi dan pelaksanaan kegiatan dengan pihak lain terkait dengan pelaksanaan tugas dan kewenangannya, dan sebagainya.
Mengidentifikasi Gratifikasi
Jika suatu pemberian masih berkaitan dengan jabatan atau ada ketentuan yang melarang, maka pemberian tersebut harus ditolak, walaupun kita tidak memintanya.
Namun, jika dalam keadaan tertentu kita tidak dapat menolaknya, seperti dikirimkan ke rumah, dititipkan kepada anggota keluarga, atau untuk menjaga hubungan baik antar lembaga, maka pemberian tersebut wajib dilaporkan ke KPK.
Agar tidak ragu ketika menerima suatu hadiah, berikut metode yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi pemberian tersebut termasuk dalam tindak gratifikasi ilegal atau tidak. Metode ini disebut dengan istilah PROVE IT.
PROVE IT
- P (Purpose): Apakah tujuan pemberian tersebut?
- R (Rules): Bagaimana aturan perundangan terkait gratifikasi.
- O (Openess): Bagaimana substansi keterbukaan pemberian tersebut? apakah diberikan secara sembunyi-sembunyi atau di depan umum.
- V (Value): Berapa nilai dari gratifikasi tersebut. Jika nilainya cukup tinggi maka sebaiknya Pn/PN bersikap hati-hati dan menolak pemberian tersebut.
- E (Ethics): Apakah nilai moral pribadi Anda memperbolehkan penerimaan hadiah tersebut?
- I (Indentity): Apakah pemberi memiliki hubungan jabatan, calon rekanan, atau rekanan instansi?
- T (Timing): Apakah pemberian gratifikasi berhubungan dengan pengambilan keputusan, pelayanan atau perizinan?