SVLK, Jaminan Legalitas dan Kelestarian Hasil Hutan Indonesia

ANTARA FOTO/Adeng Bustomi/agr/wsj.
Pekerja mengangkut kayu gelondongan di Tempat Penimbunan Kayu (TPK) Banjar Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Ciamis, Kota Banjar, Jawa Barat, Senin (13/7/2020). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menyiapkan sejumlah terobosan salah satunya mendorong ekspor produk hasil hutan dengan menganalisis regulasi terkait Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dan kemudahan investasi pemanfaatan hutan produksi.
Penulis: Dini Pramita
16/3/2023, 16.46 WIB

1 Maret 2023 menandai era baru dalam perjalanan SVLK sebagai jaminan kelestarian hasil hutan Indonesia, terutama kayu. Terhitung sejak tanggal tersebut, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan SK.9985/2022 tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) diterapkan.

Standar dan pedoman pelaksanaan SVLK terbaru ini dirancang untuk memastikan produk hasil hutan Indonesia, terutama kayu, dihasilkan dari kegiatan yang legal dan dikelola secara lestari. Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan KLHK Krisdianto mengatakan saat ini ada kebutuhan untuk memastikan produk hasil hutan tidak hanya berasal dari sumber yang legal, tetapi juga diproduksi secara berkelanjutan dan lestari.

EKSPOR KAYU LAPIS (ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/wsj.)



Ikhtiar Menuju Pengelolaan Hutan Lestari

SVLK saat ini telah berganti. Semula SVLK merupakan akronim dari Sistem Verifikasi Legalitas dan Kayu. Kini berganti menjadi Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian. Dengan pergantian dari 'Kayu' menjadi 'Kelestarian' SVLK kini menekankan aspek kelestarian pada seluruh kegiatan dari hulu hingga hilir.

Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari Agus Justianto, ada tiga hal yang ingin dicapai dalam implementasi SVLK terbaru. Pertama, untuk meningkatkan kredibilitas, transparansi, dan keterlacakan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan geolokasi.

Kedua, untuk menjaga pengelolaan dan pemanfaatan hutan dengan memperhatikan aspek kelestarian berdasarkan fungsinya. Ketiga, sebagai penanda diterapkannya logo 'SVLK Indonesia' terbaru dan menambahkan 'Kelestarian' untuk produk yang berasal dari sumber yang lestari.

KLHK telah lebih dulu mempromosikan logo SVLK terbaru pada 26 November tahun lalu melalui SK Menteri LHK No.1179/MENLHK/PHPL/HPL.3/11/2021 tentang Penetapan Tanda SVLK. Logo ini menjadi tanda yang menyatakan hasil dan produk hutan yang memiliki logo tersebut telah memenuhi standar legalitas dan kelestarian dan memenuhi syarat untuk mendeklarasikannya.

Tonggak perubahan haluan menuju lestari ini dapat ditelusuri dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengubah tata kelola kehutanan. Aturan itu diturunkan lagi ke dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.

Dengan adanya standar dan pedoman terbaru, terdapat perubahan pula terhadap sertifikat yang diterapkan. Sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) berubah menjadi Sertifikat Pengelolaan Hutan Lestari (S-PHL) dan Sertifikat Legalitas Kayu (SLK) menjadi S-Legalitas.

Kedua sertifikat ini wajib dimiliki oleh produsen, terutama kayu, sebelum memasarkan produknya. Bagi eksportir kayu, sertifikat ini menjadi syarat legal dalam penerbitan dokumen verified legal (V-legal) yang menjadi syarat untuk melakukan ekspor.

Penekanan pada aspek lestari menyiratkan upaya untuk memperkuat ketelusuran asal muasal produk, perlindungan terhadap ekosistem hutan, perlindungan terhadap masyarakat adat atau lokal, dan menjamin perlindungan hak asasi manusia.

Penilaian SVLK

SVLK dibuat oleh parapihak yang melibatkan unsur pemerintah, pengusaha, akademikus, lembaga penilai, organisasi sipil hingga pemantau independen kehutanan. Dalam sistem itu terdapat standar, kriteria, indikator, verifier, metode verifikasi, dan norma penilaian yang disepakati parapihak.

Ada empat aspek yang dinilai untuk mendapatkan sertifikat SVLK, yaitu aspek prasyarat, produksi, ekologi, dan sosial. Masing-masing aspek memiliki indikator yang harus dipenuhi dengan standar penilaian buruk, sedang, baik.

Penilaian dalam aspek prasyarat mencakup kepastian kawasan yang dikelola pemegang izin, komitmen pemegang izin hingga persetujuan dari masyarakat setempat tanpa paksaan untuk menghindari konflik akibat aktivitas perusahaan. Penilaian dalam aspek produksi mencakup penataan areal kerja jangka panjang, penerapan teknologi ramah lingkungan, jaminan kelestarian fungsi hutan lindung, hingga kemampuan finansial perusahaan.

Sementara itu, indikator dalam aspek ekologi mencakup komitmen penjagaan fungsi hutan lindung, perlindungan dan pengamanan hutan, mitigasi dampak lingkungan akibat aktivitas pemanfaatan hutan, hingga komitmen perlindungan terhadap keanekaragaman hayati hutan. Dalam aspek sosial, indikator penilaian mencakup kejelasan tata batas arealkerja dengan wilayah penguasaan lahan oleh masyarakat setempat, mitigasi konflik sosial, dan ketersediaan distribusi manfaat untuk masyarakat.

Penilaian atau audit terhadap pemegang izin dilakukan oleh Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen yang terdaftar di Komite Akreditasi Nasional. Hasil penilaian dikategorikan dengan predikat baik, sedang, dan buruk. Hanya pemegang izin yang mendapatkan predikat baik dan sedang yang dapat diberikan sertifikat S-PHL.

Untuk menjaga kredibilitas SVLK, pemantau independen berperan dalam memantau kerja-kerja pemegang izin dari hulu hingga hilir. Salah satunya lewat pembuktian kesesuaian penilaian yang diperoleh pemegang izin dengan kondisi sebenarnya di lapangan.

Apabila pemantau independen menemukan adanya pelanggaran dari keempat aspek, lembaga penilai akan melakukan audit khusus. Temuan dari audit khusus ini akan menentukan keberlanjutan S-PHL atau S-Legalitas yang dimiliki oleh pemegang izin.

Perjalanan SVLK

SVLK sebagai sistem yang memastikan keabsahan dan kelestarian kayu serta hasil hutan lainnya dikembangkan sejak 2003. Sistem ini mulai diimplementasikan sejak September 2010 setelah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Kehutanan P.38/MENHUT-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak.

Sejak saat itu, SVLK menjadi sistem mandatory atau wajib ditempuh sebelum produk kayu diperdagangkan. Produsen atau pemegang izin berusaha pemanfaatan hutan wajib melaksanakan sertifikasi dan verifikasi sesuai ketentuan SVLK. Jika tidak, aktivitasnya di dalam hutan dan produk yang dihasilkan dinyatakan ilegal.

Sistem ini mulai diberlakukan secara penuh pada skema Forest Law Enforcement, Governance and Trade-Voluntary Partnership Agreement (FLEGT-VPA) pada April 2016 silam. FLEGT-VPA merupakan lisensi Uni Eropa yang bertujuan memberantas illegal logging dengan memperkuat tata kelola hutan lestari dan mempromosikan perdagangan kayu legal. Implementasinya dipayungi oleh perjanjian bilateral antara negara produsen seperti Indonesia, dengan Uni Eropa.

Hingga saat ini, Indonesia menjadi satu-satunya negara produsen yang berhasil mengantongi lisensi FLEGT melalui pelaksanaan sistem SVLK. Artinya, produk yang telah mengantongi SVLK tidak perlu diuji pemeriksaan legalitas asal-usulnya untuk masuk ke negara-negara Uni Eropa karena telah dianggap legal.

Sejak diimplementasikan pada 2010, peraturan terkait dengan SVLK telah mengalami sembilan kali perubahan. Agus Justianto mengatakan peraturan mengenai SVLK akan terus diperbarui untuk meningkatkan tata kelola hutan lestari.

Salah satu peningkatan dalam perubahan terakhir adalah diakomodirnya hasil hutan bukan kayu dalam penilaian SVLK seperti madu, rotan, damar, kopi, dan bambu. Penilaian ini akan memastikan produk hutan non-kayu yang beredar di pasar nasional dan global, telah terbebas dari risiko pengelolaan hutan yang tidak lestari.

Implementasi SVLK selama enam tahun terakhir diklaim mendongkrak ekspor hasil hutan kayu. Adapun nilai ekspor pada 2021 mencapai US$13,56 miliar, dan  meningkat pada 2022 mencapai US$14,51 miliar. Nilai ini diklaim tertinggi sepanjang lima tahun terakhir. 

Reporter: Dini Pramita