Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) telah memblokir beberapa platform yang bergerak pada layanan e-commerce, gim online, hingga mesin pencari Sabtu lalu (30/7) lalu.
Kebijakan ini menuai protes dari warga, hingga akhirnya pemerintah membuka pemblokiran PayPal sementara, Yahoo, Dota, Steam, dan Counter Strike: Global Offensive. Meski begitu, masih ada platform gim online yang belum bisa diakses masyarakat, yakni Origin dan Epic Games.
Apa Itu Epic Games?
Epic Games adalah perusahaan pengembang perangkat lunak dan penerbit gim video besutan Tim Sweeney sejak 1991. Perusahaan ini dikenal luas berkat salah satu gim mereka, Fortnite, yang sudah dirilis dalam versi berbayar sejak Juli 2017. Namun, Fortnite melejit ketika Epic Game mengubahnya menjadi gratis pada September 2017.
Hingga 2021, Epic Games memperkirakan sudah ada 400 juta pengguna terdaftar di Fortnite. Angka ini diiringi dengan jumlah pemain aktif bulanan alias monthly active players (MAP) Fortnite sekitar 80 juta pemain. Puncaknya pada 2021, ketika dunia dilanda pagebluk, Fortnite berhasil memperoleh jumlah MAP sebanyak 83,3 juta pemain.
Seiring dengan kesuksesan ini, Epic Games berhasil memperoleh investasi senilai US$1 miliar atau setara Rp 14,5 triliun pada Maret 2021. Padahal perusahaan ini baru saja menutup putaran investasi pada Juli 2020, tujuh bulan sebelumnya. Akhirnya perusahaan ini memiliki valuasi hingga US$ 28 miliar atau Rp 406 triliun (kurs US$1 = Rp 14.500).
Selama dua dekade perjalanan Epic Games, Sweeney membagi alur waktu perkembangan perusahaannya menjadi empat babak. Pertama, babak Epic 1.0 dari 1991 hingga 1997, kemudian Epic 2.0 dari 1998 hingga 2005, babak ketiga alias Epic 3.0 dari 2006 hingga 2011, dan terakhir Epic 4.0 dari 2012 hingga sekarang.
Bermula dari Jasa Konsultasi
Tim Sweeney memulai usaha teknologi pertamanya pada 1991 dari rumah orangtuanya di Potomac, Maryland, Amerika Serikat. Ide awal lelaki kelahiran 1970 ini adalah membentuk bisnis konsultasi komputer bernama Potomac Computer Systems (PTC), sesuai dengan nama daerah asalnya. Dalam wawancara dengan Game Developer, Sweeney menjelaskan bahwa PTC menawarkan jasa kustomisasi database untuk keperluan personal atau perusahaan.
Sayangnya, model bisnis ini membutuhkan banyak tenaga dan tidak ada perkembangan yang signifikan. Perubahan besar dalam perusahaan besutan Sweeney ini dimulai dari karya isengnya, sebuah gim bernama ZZT. Gim ini bergenre aksi, petualangan, atau puzzle yang bisa dimainkan di MS-DOS dan dikembangkan Sweeney selama sembilan bulan.
Pada awal rilis, Sweeney dapat menjual tiga hingga empat salinan ZZT per harinya, dengan nilai ratusan dolar. Angka ini terhitung cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, oleh sebab itu Sweeney mencoba menggarap gim lainnya secara full-time. Keputusan ini ia ambil pada awal 1992, dengan mengembangkan permainan gulir sisi dua dimensi bernama Jill of The Jungle.
“Saya tidak benar-benar menganggapnya sebagai perusahaan game sampai setelah merilis ZZT,” kata Sweeney dikutip dari Game Developer.
Setelah serius memutar arah model bisnisnya, pada 1992 PTC berganti nama menjadi Epic MegaGames. Nama ini dipilih untuk menciptakan kesan bahwa Epic MegaGames adalah perusahaan besar. Kala itu Epic MegaGames bersaing dengan dua perusahaan gim yang merilis gim 2D, yakni Apogee dan id Software.
Epic Game kemudian merilis Jazz Jackrabbit pada 1994 sebagai gameside-scrolling pertama yang dilunccurkan untuk Windows dan Mac. Kali ini, Epic Game menggandeng Cliff Bleszinski dan Arjan Brussee untuk mendesain Jazz Jackrabbit.
Mengubah Nama Menjadi Epic Games
Era baru Epic MegaGames dimulai pada 1998, ketika mulai tumbuh menjadi sebuah perusahaan dan menambah jumlah karyawan mereka dari 12 orang menjadi 25 orang. Bersamaan dengan penambahan karyawan, Epic Games memutuskan untuk bekerjasama dengan GT Interactive sebagai publisher.
Pada tahun ini, perkembangan PC mulai meledak di berbagai belahan dunia, sehingga menjadi ladang garapan yang subur bagi industri gim. Melalui kerjasama dengan GT Interactive dan Digital Extremes, Epic MegaGames merilis Unreal, gim penembak orang pertama dengan visual 3D.
Setahun kemudian, perusahaan melakukan relokasi ke Cary, North Carolina dan mengganti namanya menjadi Epic Games, seperti yang dikenal hingga sekarang. Di tahun yang sama, Epic Games, GT Interactive, dan Digital Extremes meluncurkan Unreal Tournament. Platform ini memberi tempat bagi pemain Unreal untuk bermain secara multiplayer.
Manuver besar ini dilakukan EpicGames lantaran mereka membutuhkan dana yang lebih besar untuk menggaji karyawan mereka. Hal ini pun diikuti dengan keharusan untuk menjual berjuta salinan dari masing-masing gim yang mereka rilis.
“Akhir dari era ini adalah pembajakan game PC. kala itu, hampir mustahil untuk menjual gim single-player. Kamu memperkirakan, untuk setiap orang yang membeli gim kami, ada empat orang yang memainkan versi bajakan,” tutur Sweeney pada Polygon.
Beralih ke Gim Konsol
Belajar dari kegagalan penjualan gim PC, pada 2006 Epic Game bekerjasama dengan Microsoft untuk mengembangkan gim di konsol Xbox 360. Permulaan era ini ditandai dengan gim hit Gears of War yang menghasilkan cuan US$ 100 juta, hampir 10 kali lipat dari biaya pengembangannya sebesar US$ 12 juta.
Keberuntungan ini tidak berlangsung lama, sebab pendapatan menurun dan biaya pengembangan lanjutan gim semakin meningkat. Dari perhitungan Sweeney, Gear of War 3 membutuhkan biaya tiga hingga empat kali lebih banyak dari seri awalnya. Bahkan bila Epic Game melanjutkan seri Gear of War 4, mereka harus menyiapkan dana US$ 100 juta.
“Apabila gim itu sukses besar, kita bisa balik modal. Bila kurang, kita bisa gulung tikar,” kata Sweeney.
Terlepas dari pertaruhan gulung tikar dan kesuksesan di era ini, Epic Games tetap meluncurkan gim baru, yakni Infinity Blade pada 2010 dan Bulletstorm pada 2011. Serial Infinity Blade dimainkan di iOS dan berhasil menghasilkan lebih dari US$ 23 juta. Sementara itu, Bulletstorm dikembangkan bersama dengan People Can Fly kemudian dirilis oleh perusahaan ternama, Electronic Arts (EA), di PlayStation 3, Xbox 360, dan Windows.
Layaknya era sebelumnya, era 3.0 diakhiri dengan sebuah realisasi jalan keluar dari masalah yang dihadapi. Kali ini jalan keluar yang diambil Epic Game adalah proyek kecil mereka bernama Fortnite. Sweeney menilai gim ini bisa bertahan di sistem permainan gratis.
Era 4.0: Babak Baru, Investor Baru
“Kami melakukan banyak hal gila,” kata Sweeney. “Untuk pertama kalinya dalam sejarah Epic, kami membawa investor luar, Tencent,”
Pada Juni 2012, konglomerat teknologi asal Cina ini membeli sekitar 40% dari seluruh saham perusahaan atau senilai US$330 juta. Dengan langkah ini, maka Tencent mendapat dua dari tujuh kursi direksi di Epic. Meski begitu, Sweeney optimistis bahwa masuknya Tencent tidak akan mengubah desain atau perkembangan gim Epic Game. Alasannya adalah karena Tencent bukan pengembang gim, namun ahli dalam pemasaran produk ke khalayak global.
Keberhasilan menggaet investor global ini memberi efek samping pada kolega Sweeney. Tercatat ada empat orang koleganya yang sudah bekerja dengannya dari era 1.0 dan era 2.0 meninggalkan Epic Game pada 2012. Misalnya Adrian Chmielarz, pendiri People Can Fly yang mengembangkan Bulletstorm, lalu Rod Fergusson, produser eksekutif dan direktur produksi Gears of War. Kemudian juga Mike Capps, presiden Epic Game pada 2004 dan co-founder Epic Game, Cliff Bleszinski.
Dengan bantuan Tencent di bidang distribusi digital dan manuver ke ranah game as a service (GaaS), Sweeney menyetir kembali basis Epic Game ke PC. Beberapa langkah besar yang juga diambil Sweeney adalah menggratiskan Fortnite pada 2014 dan Unreal Engine setahun berikutnya.