Kisah Shunsuku Sagami Jadi Miliarder di Usia 32 Tahun Berkat AI

Forbes
Pendiri dan CEO M&A Research Institute Holdings Shunsaku Sagami.
Penulis: Amelia Yesidora
Editor: Sorta Tobing
5/5/2023, 16.42 WIB

Tidak memiliki latar belakang keuangan tidak menjadi halangan bagi Shunsaku Sagami untuk sukses di bidang tersebut. Di usianya yang ke-32 tahun, ia berhasil menjadi miliarder baru Jepang melalui perusahaannya, M&A Research Institute Holdings. 

Sejak melantai pada Juni lalu, harga saham M&A terbang tinggi, lebih dari 340%. Kepemilikan Sagami atas 73% saham perusahaan itu kini bernilai lebih dari US$ 1 miliar atau setara Rp 15 triliun. Perhitungan ini berdasar harga saham penutupan perdagangan bursa Tokyo, Jumat (28/4), senilai US$ 74,36 atau Rp 1,1 juta. 

Sesuai namanya, perusahaan yang berdiri pada 2018 ini adalah broker yang khusus menangani merger dan akuisisi. Fokusnya adalah perusahaan kecil dan menengah.

Uniknya M&A Research Institute menggunakan kecerdasan buatan alias artificial intelligence (AI) dalam beroperasi. Dengan teknologi itu, perusahaan bisa mencocokkan pembeli potensial dengan perusahaan yang biasanya berisiko tutup.

Perusahaan berisiko yang ditarget biasanya masih untung tapi pemiliknya sudah tua dan tidak bisa menemukan penggantinya. “Rata-rata industri menghabiskan waktu setahun untuk menghasilkan kesepakatan bisnis. Namun, M&A hanya butuh lebih dari enam bulan,” tulis laman Forbes, dilansir pada Jumat (5/5).

Bagaimana kisah awal kesuksesan miliarder Shunsuku Sagami dalam membangun M&A Research Institute Holdings?

Ilustrasi Jepang (Pixabay/Sofia Terzoni)

Terinspirasi Kondisi Bisnis Kakeknya

Forbes mencatat pekerjaan pertama Sagami adalah di bidang periklanan, alih-alih ekonomi. Namun, pengalaman inilah yang membuatnya memiliki pengalaman di bidang merger dan akuisisi.

Kisah ini bermula pada 2015, kala ia membangun perusahaan media fesyen bernama Alpaca. Media ini diakuisisi agensi humas Vektor yang kala itu sudah terdaftar di bursa efek Tokyo. Nama Alpaca pun berganti menjadi Smart Media. Sagami yang masih berusia pertengahan 20-an pada masa itu, tetap bekerja di perusahaan tersebut.

Di sana ia menemukan ketidakefisienan dalam proses kesepakatan bisnis. Di saat yang sama, Sagami melihat bisnis kakeknya terpaksa tutup karena tidak ada penerus. Kondisi inilah yang menginspirasinya membangun M&A  Research Institute Holdings. 

Kecerdasan buatan bekerja di M&A sebagai pencari pemilik perusahaan yang ingin menjual bisnisnya. Ada bayaran kalau kesepakatan sudah dicapai. “Sistem harga yang memudahkan klien dan pendekatan AI memberi dampak positif dari kompetisi di perusahaan serupa,” tulis perusahaan riset finansial Jepang, Teikoku Databank.

Melantai dan Melambung di Bursa Saham

Kesuksesan ini yang mengantarkan Sagami dan M&A Research Institute melantai di bursa efek Tokyo Juni lalu. Bila dihitung, usia perusahaan ini bahkan belum sampai empat tahun saat melantai.

Pada akhir Desember lalu, M&A Research Institute membukukan keuntungan bersih senilai US$ 7,1 juta (Rp 106,5 miliar) dan pendapatan US$ 15,7 juta (Rp 235,5 miliar). Ini diperoleh dari 33 transaksi yang sukses dan 426 transaksi yang masih dalam proses menuju kata sepakat. 

Salah satu kesuksesan M&A Research Institute adalah menjual perusahaan teknologi dengan pendapatan 200 juta Yen (Rp 21,8 miliar) kepada rivalnya yang memiliki pendapatan 1,5 miliar Yen (Rp 164,1 miliar). Perusahaan yang dijual ini tidak memiliki penerus, sementara pembelinya ingin melakukan ekspansi. 

Di sisi lain, pendapatan tahunan perusahaan meningkat hampir 200% secara tahunan per September 2022 menjadi US$ 28,8 juta atau setara Rp 432 miliar. Pada periode yang sama, keuntungan meningkat empat kali lipat menjadi US$ 9,8 juta atau setara Rp 147 miliar.

Reporter: Amelia Yesidora