Profil G7, Klub Negara Maju Warisan Perang Dingin

Sekretariat Kabinet RI
Presiden Jokowi bertemu Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida di KTT G7 Hiroshima, Jepang, Minggu (21/5).
23/5/2023, 18.17 WIB

Presiden Indonesia Joko Widodo  menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok Tujuh alias G7 di Hiroshima, Jepang. Ia menyampaikan kritik atas kebijakan perdagangan negara maju yang dianggap diskriminatif terhadap negara berkembang. 

Selain itu, Presiden mengatakan pentingnya perdamaian dan stabilitas duni di tengah perang Rusia vs Ukraina. “(Ketidakpercayaan) semakin tebal, rivalitas semakin meruncing, perang dan konflik masih terjadi di mana-mana,” kata Jokowi, Minggu (21/5). 

Para pemimpin anggota dan mitra G7 juga membahas mengenai kerja sama Indo-Pasifik, pelucutan senjata nuklir, keamanan ekonomi, perubahan iklim, energi, pangan, kesehatan, dan pembangunan. 

G7 merupakan organisasi informal yang beranggotakan Amerika Serikat, Prancis, Italia, Jepang, Inggris, Jerman, Kanada, dan Uni Eropa. Berbeda dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), grup ini tidak memiliki piagam atau sekretariat.

Menteri-menteri negara anggota bertemu sepanjang tahun dalam rapat, sementara kepala negara bertemu setahun sekali dalam KTT. Namun, banyak kritik menyerang klub negara-negara maju ini karena dinilai sudah kuno.

Presiden Joko Widodo menghadiri KTT G7 di Jepang. (ANTARA FOTO/Biro Pers Setpres/Laily Rachev/Handout/sgd/aww.)

Warisan Sejarah Dunia yang Telah Usang

KTT G7 di Hiroshima, Jepang, terjadi pada tahun ke-50 sejak organisasi tersebut berdiri. Klub negara-negara demokratis ini berawal dari pertemuan informal antara Menteri Keuangan AS, Jerman Barat, dan Inggris di perpustakaan Gedung Putih di Washington, DC, AS, pada 1973.

G7 terbentuk ketika dunia terjebak di tengah Perang Dingin antara Blok Barat yang dipimpin oleh AS dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet. Di sela-sela ketegangan geopolitik ini, dunia jatuh ke dalam resesi pada 1975 menyusul krisis minyak akibat embargo oleh kartel negara-negara produsennya pada 1973.

Pada 1975, klub ini beranggotakan enam negara, yaitu AS, Prancis, Italia, Jepang, Inggris, dan Jerman Barat. Kanada bergabung pada tahun berikutnya. Ekspansi klub kembali terjadi pada 1981 ketika Uni Eropa bergabung sebagai negara yang “tidak dihitung.” Karena ini merupakan institusi informal, tidak ada kriteria formal untuk menjadi anggota.

Menurut lembaga riset Council on Foreign Relations (CFR), saat itu klub ini menyediakan tempat untuk negara-negara nonkomunis membahas isu-isu ekonomi, termasuk inflasi dan resesi, serta Perang Dingin.

Namun, tatanan dunia telah berubah drastis sejak pembentukan G7. Polarisasi tidak lagi separah saat Perang Dingin, seiring dengan peningkatan keterikatan antarnegara terutama dalam rantai pasok global.

Presiden AS ke-45 Donald Trump mengatakan pada November 2020 bahwa G7 sebagai “kelompok negara-negara yang sangat ketinggalan zaman.”

Ketegangan AS vs Tiongkok

Ketegangan yang berlangsung saat ini terpusat di antara AS dan Tiongkok, meskipun keduanya merupakan mitra perdagangan terbesar masing-masing. Namun, Uni Eropa dan Prancis yang merupakan sekutu AS telah menunjukkan tanda-tanda melunak ke Tiongkok. Ini terefleksikan dalam komunike KTT G7 di Jepang kemarin.

“Inti pesan yang ingin kami sampaikan dalam (pertemuan) G7 kali ini adalah posisi Eropa yang melihat Tiongkok sebagai mitra, melengkapi kami, dan merupakan rival sistemis, semuanya terlihat dalam bahasa G7,” kata seorang pejabat kantor Presiden Prancis kepada Reuters pada Senin (22/5).

Di luar isu-isu geopolitik, negara-negara G7 telah mencoba berpartisipasi dalam mendorong inisiatif-insiatif global seperti penanganan HIV/AIDS dan perubahan iklim.

Antara 1998 dan 2014, klub negara-negara ini sempat beranggotakan delapan negara setelah Rusia bergabung. Namun, para negara anggota sebelumnya mengeluarkan Rusia dari klub sebagai respons terhadap pendudukan Crimea, Ukraina, pada 2014.

Aksi menghentikan pendanaan energi fosil di luar KTT G7, Hiroshima, Jepang. (ANTARA FOTO/Reno Esnir/nym.)

Penyusutan Dominasi Ekonomi

Dominasi ekonomi G7 telah menyusut seiring dengan pertumbuhan negara-negara berkembang. Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), misalnya, negara-negara G7 mewakili kira-kira setengah dari produk domestik bruto (PDB) dunia pada 1980, setelah mempertimbangkan perbedaan biaya hidup.

Namun, porsi negara-negara G7 dalam PDB dunia diperkirakan menyusut ke 29,89% pada 2023. Tren penyusutan ini diproyeksikan akan terus berlanjut bahkan hingga ke 27,77% pada 2028.

Sedangkan negara-negara berkembang Asia diperkirakan menyumbangkan 33,58% terhadap PDB dunia pada 2023. Kontras dengan G7, porsi negara-negara berkembang Asia dalam PDB dunia diperkirakan akan terus tumbuh hingga 36,33% pada 2028.

CFR menulis, banyak analis yang percaya bahwa pengaruh dan prestise dari Kelompok 20 (G20) telah melampaui G7. G20 merupakan forum antarpemerintah yang terdiri dari 19 negara termasuk Indonesia dan Uni Eropa.

“Negara berkembang seperti Brasil, Tiongkok, India, Meksiko, dan Afrika Selatan, yang ketidakhadirannya dalam G7 sering dicatat, semuanya masuk ke G20,” tulis lembaga riset yang berbasis di New York, AS, itu.

Reporter: Dzulfiqar Fathur Rahman