Jejak Sertifikasi Halal, Digagas Departemen Kesehatan Sejak 1976

ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah/aww.
Petugas Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) memaparkan tata cara pengajuan permohonan sertifikasi halal kepada pelaku usaha di Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (15/4/2023). Pemerintah mendorong pelaku usaha untuk mengajukan sertifikasi halal atas produknya sebagai wujud perlindungan bagi konsumen dan Indonesia menargetkan menjadi produsen makanan dan minuman halal nomor satu dunia dengan target 10 juta produk bersertifikat halal di tahun 2024.
4/8/2023, 07.54 WIB

Belakangan produk minuman berlabel “Nabidz” menjadi sorotan karena melabeli diri sebagai “wine halal” yang telah lolos sertifikasi halal. Majelis Ulama Indonesia (MUI) angkat tangan atas polemik ini dan mengaku tak pernah menetapkan kehalalan atas produk tersebut.

Usut punya usut produk berlabel Nabidz ini memang memiliki sertifikasi halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Namun izin dengan nomor ID131110003706120523 ini diberikan untuk produk jus buah anggur.

“Sedang kita investigasi, apakah oleh pelaku usahanya atau resellernya sehingga ada kontroversi (pelabelan wine halal)," kata Kepala BPJPH, Muhammad Aqil Irham dalam acara Media Gathering BPJPH di Jakarta pada Jumat (28/7).

Sertifikat halal milik Nabidz saat ini telah diblokir. Sementara itu reseller Nabidz, Aditya D Putra, menjelaskan, penyematan “wine” pada produk Nabidz hanyalah sebutan yang ia buat sendiri. Nabidz bukan wine melainkan produk jus anggur yang dioleh dengan menggunakan bakteri.

Kasus tersebut menggambarkan bahwa sertifikasi halal saat ini dikeluarkan oleh BPJPH, bukan lagi MUI. Sejatinya kewenangan pemberian label halal di Indonesia sudah mengalami beberapa kali perubahan.

Sejarah labelisasi halal di Indonesia bermula di tahun 1976. Saat itu label yang diberikan justru untuk produk non-halal, kewenangan untuk label non-halal ini diampu oleh Departemen Kesehatan.

Prof Dr GA Siwabessy selaku Menteri Kesehatan kala itu mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 280 tanggal 10 November 1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang Mengandung Bahan Berasal dari Babi.

Siwabessy mewajibkan seluruh produk makanan dan minuman yang mengandung unsur babi menempel label tulisan “mengandung babi” dengan gambar babi berwarna merah berlatar belakang putih.

Isu Lemak Babi Ubah Objek Sertifikasi Halal

Pada tahun 1987 seorang guru besar pangan dari Universitas Brawijaya Malang, Dr. Ir. Tri Susanto meneliti sejumlah produk makanan, diantaranya mi, susu, dan beberapa makanan. Hasil penelitian mengungkapkan adanya produk yang menggunakan bahan baku gelatin, shortening dan lecithin, serta lemak yang mungkin berasal dari babi.

Penelitian tersebut dimuat dalam Buletin Canopy terbitan Ikatan Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya Malang pada Januari 1988. Informasinya lantas tersebar dan memicu protes masyarakat kepada pemerintah untuk menjamin kehalalan sebuah produk.

Kemudian pemerintah merespon dengan membentuk Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) pada 6 Januari 1989. Melansir dari laman halalmui.org, kewenangan sertifikasi produk halal mutlak beralih ke LPPOM MUI yang bertanggung jawab untuk melakukan pemeriksaan dan sertifikasi halal.

Untuk memperkuat posisi MUI sebagai lembaga sertifikasi halal, pada tahun 1996 Departemen Agama, Departemen Kesehatan, dan MUI menandatangani nota kesepakatan kerja sama, disusul penerbitan Keputusan Menteri Agama (KMA) 518 Tahun 2001 dan KMA 519 Tahun 2001.

Surat tersebut tersebut yang menjadi dasar MUI melakukan pemeriksaan/audit, penetapan fatwa, dan menerbitkan sertifikat halal.

Hingga pada Maret 2022 penetapan logo halal diambil alih oleh BPJPH Kemenag lewat Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022. Kewenangan sertifikasi dan logo halal yang semula dipegang MUI akhirnya menjadi tanggung jawab pemerintah lewat BPJPH.

"Di waktu-waktu yang akan datang, secara bertahap label halal yang diterbitkan oleh MUI dinyatakan tidak berlaku lagi," kata Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas kala itu, Minggu (13/3).

Sejatinya berdasar ketentuan Pasal 6 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), tercantum dalam penyelenggaraan JPH, BPJPH berwenang menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk.

Sementara itu Pasal 33 UU JPH menyebut bahwa MUI tetap dapat mengeluarkan fatwa halal, yang ditetapkan berdasar sidang fatwa halal yang mengikutsertakan pakar, unsur kementerian/lembaga, atau instansi terkait.

Keputusan Penetapan Halal Produk ditandatangani oleh MUI dan disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan sertifikat halal. BPJPH bekerja langsung di bawah menteri.

Pasal 6 UU JPH menyebut wewenang BPJPH meliputi perumusan dan penetapan kebijakan JPH, menetapkan norma, standar, prosuder, dan kriteria JPH, menerbitkan dan mencabut sertifikat halal dan label halal pada produk, melakukan registrasi sertifikat halal pada produk luar negeri, serta melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi produk halal.

Kemudian mengakreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), melakukan registrasi auditor halal, pengawasan terhadap JPH, pembinaan auditor halal, dan bekerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.