Ekonomi Melambat, Garuda Upayakan Efisiensi Tahun Depan

KATADATA/
Beberapa upaya efisiensi yang dilakukan, mulai dari pengurangan rute, penjualan pesawat, hingga membatasi jumlah karyawan.
Penulis: Safrezi Fitra
29/12/2014, 18.51 WIB

KATADATA ? PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. memproyeksikan perekonomian tahun depan masih akan menunjukan perlambatan. Perseroan akan mengantisipasi perlambatan ini dengan melakukan upaya efisiensi untuk mengurangi beban keuangan.

Direktur Utama Garuda Indonesia Arif Wibowo mengatakan perseroan mengganggap 2015 sebagai tahun konsolidasi, untuk mencapai pertumbuhan yang lebih baik ke depan. Makanya tahun depan perseroan sudah menyiapkan beberapa upaya efisiensi, mulai dari pengurangan rute, penjualan pesawat, hingga membatasi jumlah karyawan.

Efisiensi pertama yang akan dilakukan adalah dengan merestrukturisasi jaringan penerbangannya. Restrukturisasi ini dilakukan pada 20 rute, dengan mengurangi frekuensi penerbangan. Salah satu rute yang akan dirampingkan yakni rute ke Jepang, dan menyesuaikan penerbangannya ke Australia dan Eropa.

Rute Jepang akan dirampingkan dari awalnya empat kali penerbangan per minggu, menjadi hanya satu kali. Perseroan juga akan menunda pembukaan rute baru ke Nagoya. Rute lainnya yang akan dikurangi frekuensinya adalah Jakarta-Hongkong dan Jakarta Brisbane.

Meski demikian, Perseroan akan mengalihkan rute tersebut dengan memfokuskan pengembangan rute-rute di Cina, di luar tiga kota besar yang sudah ada, yakni Beijing, Shanghai, Guangzhou. Pada 12 Januari, Garuda akan membuka rute penerbangan Denpasar-Beijing pulang pergi. Setelahnya, rute dari Chengdu, Chong Qin, Ningbo, Kunming, Jinan, Harbin, Xian, Shenyang, dan Chengzhou ke Denpasar dan Manado, pada Februari hingga Juli 2015.

Garuda juga fokus pada potensi pasar di Timur Tengah khususnya menyasar penumpang yang akan berangkat ibadah umroh. "Justru dengan mengurangi (rute), kami tetap bisa melayani dan tetap sehat. Ke depan dengan flight yang ada, kami akan lebih konsisten,? ujar Arif di Jakarta, Senin (29/12).

Perseroan juga akan mengurangi kursi kelas bisnis menjadi 8 kursi dari sebelumnya 12 kursi. Kapasitas kelas ekonomi akan ditingkatkan hingga 15 persen ? 20 persen. Upaya ini dilakukan untuk mengurangi biaya per kursi (unit cost per seat). 

Perusahaan juga menurunkan biaya overhead sebesar 10 persen, melalui pemotongan biaya yang tidak memberikan nilai  tambah, serta peningkatan produktivitas karyawan. Seperti, tidak menambah karyawan saat kedatangan 15 pesawat tahun depan, sehingga menurunkan rasio pesawat terhadap karyawan yang saat ini 1:60, menjadi 1:50. 

Efisiensi lainnya yang akan dilakukan adalah dengan menjual beberapa pesawat tua, diantaranya jenis Boeing 737-300 dan Boeing 737-500. Pesawat-pesawat yang akan dijual tersebut karena dinilai sudah tidak efisien. Sebagai gantinya, perseroan akan mendatangkan 15 pesawat berbadan lebar jenis Boeing 777 dan Airbus 330.

Di tengah perlambatan ekonomi dan upaya efisiensi yang dilakukan, Garuda menurunkan target pertumbuhan kapasitas angkut penumpang menjadi hanya 10 persen ? 12 persen. Padahal, kata Arif, laju pertumbuhan pendapatan perseroan tahun mencapai 19 persen ? 20 persen.

Penurunan target pertumbuhan ini juga sejalan dengan proyeksi perlambatan ekonomi tahun depan. Pelemahan rupiah diperkirakan dapat membuat orang akan lebih berhemat, termasuk dalam melakukan perjalanan. Perusahaan-perusahaan juga akan melakukan penghematan tahun depan.

Tahun depan Arif memproyeksikan harga bahan bakar (avtur) berada pada kisaran US$ 75 sen per liter. Lebih rendah dari tahun ini, sekitar US$ 82,9 sen per liter. Sementara proyeksi nilai tukar rupiah terhadap dolar, berada pada kisaran Rp 13.000 per dolar.

Tahun ini industri penerbangan tengah mengalami 'turbulensi', akibat pelemahan rupiah dan harga bahan bakar yang sempat mencapai harga tertinggi. Ada juga aspek peraturan yang kurang kondusif, yang akhirnya mempengaruhi kinerja perusahaan.

Hingga kuartal III, pendapatan perseroan masih tumbuh 4,26 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Namun kerugian yang didapat juga malah bertambah hingga lima kali lipat, dari US$ 32,58 juta menjadi US$ 204,65 juta.

Reporter: Desy Setyowati