Gajah Tunggal Rugi 64 M Meski Pendapatan Kinclong, Ini Penjelasannya

Gajah Tunggal (GJTL)
Ilustrasi. Gajah Tunggal mencatatkan rugi Rp 54 miliar pada semester I 2022.
Penulis: Andi M. Arief
Editor: Agustiyanti
28/7/2022, 19.56 WIB

PT Gajah Tunggal Tbk mencatat rugi sebesar Rp 64 miliar pada semester pertama tahun ini meski membukukan kenaikan pendapatan mencapai 14,14%. Perusahaan beralasan kerugian disebabkan oleh rugi pada anak usaha dan selisih kurs. 

Direktur Gajah Tunggal Kisyuwono menjelaskan, kerugian perusahaan pada enam bulan pertama tahun ini disebabkan oleh rugi pada dua anak usaha patungan masing-masing sebesar Rp 45 miliar dan Rp 7 miliar. Selain itu, kerugian juga disebabkan oleh pelemahan rupiah yang membuat beban pembayaran utang perusahaan meningkat.

"Jadi ini bukan kerugian nyata atau real loss, tidak  ada kaitannya dengan uang keluar kami," kata Kisyuwono dalam paparan publik, Kamis (28/7).

Berdasarkan data BI, rupiah sepanjang semester pertama tahun ini telah melemah 4,28% ke level Rp 14.882 per dolar AS. Adapun utang GJTL dalam dolar AS mencapai US$ 250 juta. 

Mengacu publikasi laporan keuangan perusahaan pada Senin (25/7), kinerja laba GJTL berkebalikan dari laba sebesar Rp 98,17 miliar pada periode yang sama pada tahun sebelumnya. Perusahaan membukukan rugi per saham dasar sebesar Rp 18,33 per saham dari sebelumnya laba Rp 28,17 per saham.

Pada enam bulan pertama tahun ini, emiten bersandi GJTL tersebut memperoleh pendapatan senilai Rp 8,28 triliun, meningkat 14,14% dari periode kuartal kedua tahun sebelumnya Rp 7,26 triliun. Sejalan dengan kenaikan pendapatan, perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki investor kawakan Lo Kheng Hong ini tercatat mengalami kenaikan 18,11%  di pos beban pokok penjualan menjadi Rp 7,17 triliun dari sebelumnya Rp 6,07 triliun.

Perseroan sebenarnya masih mengantongi laba kotor sebesar Rp 1,11 triliun dari periode semester pertama tahun sebelumnya Rp 1,18 triliun.

Adapun Kisyuwono belum dapat memprediksi kinerja laba kotor GJTL pada akhir 2022. Menurutnya, hal tersebut sangat tergantung dari kondisi harga komoditas dan perkembangan industri logistik.

Menurut di, seluruh harga komponen bahan baku industri ban, seperti karet alam, karet sintetis, kain ban, dan carbon black pada semester pertama tahun ini meningkat. Kontribusi komoditas-komoditas tersebut terhadap total biaya bahan baku pun meningkat, terutama untuk carbon black yang naik menjadi 18%. 

Ia pun berencana meneruskan kenaikan harga bahan baku pada harga produk yang dijual kepada konsumen. Namun, tidak seluruh kenaikan bahan baku akan dikenakan pada konsumen lantaran mempertimbangkan harga yang juga dipatok kompetitor. 

Meski berencana menaikkan harga produk, ia masih optimistis penjualan hingga akhir tahun ini mampu tumbuh 15% menjadi Rp 17,64 triliun.  "Kalau tidak ada hambatan 4-5 bulan ke depan, pokoknya kami menargetkan pertumbuhan penjualan 10%-15% dari capaian 2021," kata Kisyuwono. 

Reporter: Andi M. Arief