Raksasa tekstil, PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex, resmi pailit setelah Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi emiten tekstil itu. Seiring dengan inkrahnya status pailit SRIL, Tim kurator Sritex mencatatkan total tagihan yang diajukan oleh kreditur kepada perusahaan raksasa tekstil dan dan anak-anak usahanya mencapai Rp 32,63 triliun.
Adapun anak usahanya yang juga pailit yaitu PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya, dalam perkara nomor 2/PDT.SUS-Homologasi/2024/Pengadilan Niaga Semarang.
Di samping itu jumlah tagihan yang dihimpun tim kurator berasal dari tiga kreditur, yakni kreditur preferen, separatis, dan konkuren. Kreditur preferen memiliki tagihan sebesar Rp 691,42 miliar, kreditur separatis mencatatkan tagihan sebesar Rp 7,2 triliun, dan kreditur konkuren sebesar Rp 24,73 triliun.
Padahal menurut laporan keuangan periode 30 September 2024, Sritex memiliki total utang Rp 26,07 triliun sedangkan nilai asetnya hanya Rp 9,63 triliun.
Berdasarkan daftar sementara kreditor konkuren yang dirilis oleh tim kurator pada 13 Desember 2024, Citicorp Investment Bank (Singapore) Limited tercatat sebagai kreditor dengan klaim terbesar terhadap Sritex. Total klaim yang diajukan oleh Citicorp Investment Bank mencapai Rp 4,43 triliun, yang terdiri dari pokok utang Rp 3,47 triliun, bunga sebesar Rp 950 miliar, dan sisanya denda.
Selanjutnya, PT Bank Negara Indonesia (BBNI) juga mengajukan klaim sebesar Rp 2,99 triliun. Angka tersebut terdiri atas pokok utang Rp 2,7 triliun, bunga sebesar Rp 293 miliar, dan sisanya merupakan denda serta penalti. Selain itu, PT Bank Central Asia (BCA) juga mencatatkan klaim sebesar Rp 1,41 triliun.
Utang Membengkak, Sritex Defisiensi Modal
Seiring dengan turunnya penjualan, beban pokok penjualan Sritex sebesar US$ 223,51 juta atau Rp 3,64 triliun hingga kuartal ketiga 2024. Secara rinci, beban pokok penjualan terbesar disokong oleh bahan baku yang digunakan Sritex sebesar US$ 131,22 juta atau Rp 2,14 triliun.
Kemudian, biaya tenaga kerja sebesar US$ 22,15 juta atau Rp 361,27 miliar dan total biaya produksi tidak langsung sebesar US$ 65,32 juta atau Rp 1,06 triliun. Hal ini membuat Sritex membukukan rugi bersih sebesar US$ 66,04 juta atau senilai Rp 1,06 triliun hingga kuartal III-2024.
Apabila melihat dari sisi neraca, total aset perusahaan US$ 594,01 juta atau Rp 9,63 triliun hingga September 2024. Sementara itu, total liabilitas perusahaan mencapai US$ 1,61 miliar atau Rp 26,07 triliun, dengan liabilitas jangka pendek sebesar US$ 133,84 juta atau Rp 2,17 triliun dan liabilitas jangka pendek sebesar US$ 1,48 miliar atau Rp 23,99 triliun.
Tak hanya itu, Sritex mencatatkan defisiensi modal sebesar US$ 1,02 miliar atau Rp 16,64 triliun. Angka tersebut naik dari defisiensi modal periode tahun lalu sebesar US$ 954,82 juta atau Rp 15,57 triliun.
Berikut adalah 15 kreditur konkuren terbesar Sritex dan afiliasinya:
- Citicorp Investment Bank (Singapore) Limited: Rp 4,43 triliun
- PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI): Rp 2,99 triliun
- PT Bank Central Asia Tbk (BBCA): Rp 1,41 triliun
- Citibank N.A. Jakarta Branch: R p1,92 triliun
- Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI/Indonesia Eximbank): Rp 1,13 triliun
- PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI): Rp 960,22 miliar
- PT Bank QNB Indonesia Tbk (BKSW): Rp 868,14 miliar
- PT Bank DBS Indonesia: Rp 794,65 miliar
- PT Bank Mizuho Indonesia: Rp 692,2 miliar
- State Bank of India, Singapore Branch: Rp 679,8 miliar
- PT BPD Jawa Barat dan Banten Tbk (BJBR): Rp 661 miliar
- ASM Connaught House General Partner III Limited: Rp 643,91 miliar
- PT Sari Warna Asli Textile Industri: Rp 602,26 miliar
- Great Phoenix International Pte Ltd: Rp 561,16 miliar
- PT Bank Muamalat Indonesia Tbk: Rp 486,76 miliar