Survei: Agen Keuangan Digital Kurang Aktif Tawarkan Buka Rekening Bank

Arief Kamaludin | Katadata
Ilustrasi.
Penulis: Dimas Jarot Bayu
Editor: Yuliawati
4/12/2017, 15.48 WIB

Agen jasa keuangan digital dianggap masih kurang aktif menawarkan layanan pembukaan rekening kepada nasabah. Berdasarkan survei Akselerasi Jaringan Keuangan Inklusif yang dirilis konsultan keuangan inklusi Microsave, hanya sekitar seperempat dari total agen jasa keuangan digital yang menawarkan layanan tersebut.

Berdasakan survei Microsave, 79% pelayanan yang ditawarkan agen jasa keuangan digital di Indonesia masih merupakan transaksi pengiriman uang di konter perbankan (over-the counter money transfer/OTC). Sementara, 78% pelayanan yang ditawarkan ke nasabah adalah pembayaran tagihan.

Pelayanan cash-in dan cash out yang ditawarkan oleh agen jasa keuangan sebanyak 76% dan 69%. Adapun, pelayanan pembayaran pinjaman mencapai 51%. "Hanya 28% dari para agen yang menawarkan layanan pembukaan rekening," kata Senior Manager DFS Microsave Raunak Kapoor di Jakarta, Senin (4/12).

(Baca: Keamanan Jadi Masalah Utama Layanan Keuangan Digital Indonesia)

Survei dilakukan dengan mewawancarai sampel sebanyak 1.300 agen jasa keuangan digital, antara lain Laku Pandai dan layanan keuangan digital (LKD) dari 15 provinsi di Indonesia pada Juli-September 2017.

Menurut Raunak, jumlah agen jasa keuangan digital di Indonesia masih cukup besar. Berdasarkan data OJK per September 2017, Indonesia memiliki 428 ribu agen yang tersebar di 512 kabupaten/kota. Bahkan, Indonesia memiliki sebanyak 97% agen eksklusif dibandingkan negara-negara lain.

Selain itu, agen juga memberi layanan perbankan lebih ekstensif dibandingkan kantor cabang bank. Agen memberikan layanan perbankan selama 67 jam per minggu, sementara kantor cabang bank hanya 35 jam per minggu.

Meski demikian, jumlah transaksi rata-rata agen di Indonesia masih cukup rendah. Agen rata-rata hanya melakukan empat transaksi sehari. Sedangkan, agen-agen di daerah Jabodetabek mampu melakukan rata-rata 10 transaksi per hari.

Selain itu, agen juga dinilai kurang berekspansi. Jarak agen dan kantor cabang terlampau dekat. Rata-rata jarak lokasi agen dengan kantor cabang bank sekiter 10 menit. Sekitar 85% agen bahkan berjarak tempuh kurang lebih 15 menit dari kantor cabang bank terdekat.

Hal ini pun menimbulkan rendahnya profitabilitas mereka. Dari hasil survei, 19% agen mengaku hanya mampu menghasilkan profit lebih dari US$ 30 per bulan.

"Lebih dari seperempat agen di Indonesia atau 26% justru mengalami kerugian atau bahkan tidak mampu mencapai break event point dari usahanya," kata Raunak.

(Baca: Hadapi Fintech, Bank Didorong Kembangkan Layanan Digital)

Guna mencapai visi meningkatkan akses masyarakat ke rekening bank, Raunak merekomendasikan agar pemerintah dapat segera mengaktifkan pendaftaran pelanggan yang tidak rumit melalui agen luar dengan mengintegrasikannya pada sistem e-KTP. Raunak menilai Indonesia dapat mencontoh hal ini dari India dan Pakistan yang telah sukses menerapkan konsep ini.

Dia pun menyarankan agar pemerintah mempromosikan jangkauan akses dengan memungkinkan pihak non-bank memanfaatkan jaringan agen individual. Menurutnya, pasar di Kenya, Pakistan, India, dan Bangladesh telah memiliki penyedia layanan perbankan campuran yang melibatkan bank, non-bank, dan pihak ketiga yang akhirnya mampu membuat kompetisi lebih sehat dan inovatif.

"Sehingga mampu meningkatkan penggunaan layanan jasa keuangan," kata Raunak.

Pemerintah juga diminta mempertimbangkan kembali mandat eksklusif agen dan mengizinkan penyedia layanan menggunakan manajer jaringan agen dari pihak ketiga. Selain itu, pemerintah juga harus bisa mendorong peningkatan transparansi dari outlet agen.

"Pemerintah juga harus mampu memunculkan kesadaran masyarakat dengan melakukan kampanye di media massa," kata dia.

Direktur Pengembangan Inklusi Keuangan OJK Eko Ariantoro mengakui jika saat ini penetrasi akses rekening bank untuk strategi keuangan inklusif nasional masih rendah. Dia pun mengakui masih banyaknya masyarakat yang belum mengetahui adanya program keuangan inklusi yang dilakukan pemerintah.

Karenanya, kampanye untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atas keuangan inklusi rencananya akan dilakukan pada tahun depan. "Jadi kampanye nasional akan kami lakukan bersama Bank Indonesia karena BI punya model agen bank dengan LKD dan OJK juga punya Laku Pandai. Jadi itu yang akan kami lakukan," kata Eko.

Adapun, Eko mengaku perlu mengkaji lebih lanjut rekomendasi lainnya dari Microsave. "Karena kita kan baru tiga tahun, dari 2014. Negara lain sudah 10 tahun," kata Eko.