Pemerintah akan menerbitkan aturan mengenai penerima manfaat (beneficial owner) dari badan usaha, pada bulan depan. Peraturan Presiden (Perpres) yang merupakan bagian dari program pertukaran data otomatis untuk kepentingan perpajakan atau Automatic Exchange of Information (AEoI) ini akan mewajibkan setiap badan usaha melaporkan identitas pemiliknya.
Kepala Bagian Legislasi Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) Fithtiadi Muslim mengatakan saat ini aturan tesebut sedang dalam penyelesaian secara formal oleh enam menteri dan pimpinan lembaga. Setelah itu akan dilanjutkan ke Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk disahkan. Enam pimpinan institusi ini adalah adalah Kepala PPATK, Menteri Hukum dan Hal Azasi Manusia, Menteri Perdagangan, Menteri Koperasi dan UKM, Menteri Luar Negeri, serta Menteri Politik, Hukum, dan Keamanan.
Fithtiadi menjelaskan dengan keluarnya aturan ini, setiap korporasi wajib melaporkan identitas utama pemiliknya kepada otoritas yang berwenang. Korporasi yang dimaksud adalah perseroan terbatas (PT), yayasan, koperasi, perkumpulan, firma, persekutuan komanditer, serta bentuk korporasi lainnya.
"Kalau dulu hanya pengurus (direksi dan komisaris) dan perubahan pengurus korporasi dilaporkan ke Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia, nantinya akan ditambah siapa Beneficial Owner-nya (yang harus dilaporkan)," ujar Fithriadi dalam acara diskusi di Jakarta, Kamis (5/10).
Dia mengatakan beberapa kriteria penerima manfaat atau beneficial owner yang wajib dicantumkan pada perseroan terbatas adalah orang orang atau institusi yang memegang kepemilikan saham sedikitnya 25%, menerima laba lebih 25 persen setahun, dan memiliki hak suara lebih dari 25 persen dalam korporasi. Kemudian memiliki kewenangan untuk mengangkat dan mengganti jajaran direksi dan komisaris, memiliki kewenangan mempengaruhi jalannya perseroan, hingga pemilik asli perusahaan tersebut.
Selain melaporkan dan melampirkan identitas beneficial owner (BO)kepada Kemenkumham, korporasi juga wajib mendaftarkan identitas penerima manfaat kepada instansi teknis terkait, "Misal, perusahaan tambang juga harus melaporkan BO-nya ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Lalu perbankan juga lapor ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK)," ujarnya.
Bagi korporasi yang melanggar dan tidak melapor siapa penerima manfaat utama akan dikenakan sanksi sesuai ketentuan undang-undang yang ada. Fithriadi tidak khawatir jika ada yang menganggap sanksinya ringan, karena setiap kementerian dan lembaga terkait memiliki sanksi yang lebih detail. Bahkan, dia menyebutkan bisa perusahaan tersebut dikenakan Pasal 4 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang dengan ancaman sanksi 20 tahun penjara.
"Kalau ada penyelidikan dan ada buktinya bisa langsung dipidana," ujarnya.
Fithriadi juga tidak khawatir jika ada yang menilai aturan ini tidak akan efektif dalam membuka informasi, lantaran masih ada kemungkinan pemilik utama korporasi mendelegasikan semua kewenangan ke banyak penerima manfaat lain. Menurutnya, dengan ditetapkannya minimal satu beneficial owner, akan menjadi bekal bagi PPATK mencari tahu aliran dana hasil dari suatu badan usaha.
"Makanya kami akan gelar sosialisasi selama setahun. Tapi yang jelas aturan ini akan digunakan untuk mengetahui siapa pemilik ultimate korporasi itu," ujarnya.
Deputi Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association Joko Widajanto mengatakan aturan BO ini, pemerintah bisa mengetahui pemilik utama suatu korporasi, dan mendorong agar patuh membayar pajak. Meski begitu asosiasi perusahaan pertambangan ini juga mengusulkan agar pemerintah juga bisa memberikan insentif kepada dunia usaha.
"Kalau penerima manfaat dikejar-kejar, yang dipotong itu bonus kami (pekerja)," ujarnya.