Bank Indonesia (BI) bakal mengumumkan kebijakan bunga acuan atau BI 7-Day Repo Rate pada Kamis (20/7) ini. Para ekonom memprediksi bunga acuan masih akan bertahan di level 4,75 persen. Sebab, BI perlu mengantisipasi kenaikan inflasi dan mewaspadai kenaikan bunga dana Bank Sentral Amerika Serikat (AS).

Ekonom Bank Permata Yosua Pardede menjelaskan, kondisinya sejak awal tahun, inflasi meningkat akibat kenaikan tarif listrik 900 Volt Ampere (VA). Kondisi ini memunculkan ekspektasi inflasi ke depan. Tahun ini, ia pun memprediksi inflasi bakal berada di kisaran 4-4,5%, lebih tinggi dari tahun lalu 3,02%.

“Makanya saya pikir dengan mempertimbangkan inflasi meningkat, BI perlu menjangkar ekspektasi. Caranya memepertahankan suku bunganya. Diharapkan inflasi bisa terjangkar, konsumsi bisa tumbuh,” kata Yosua kepada Katadata, Kamis (20/7).

Di sisi lain, BI juga perlu mengantisipasi kondisi global ke depan, khususnya yang terkait dengan kebijakan Bank Sentral AS alias The Federal Reserve (The Fed). The Fed telah dua kali menaikkan bunga dananya tahun ini dan berencana menaikkannya sekali lagi, kemungkinan pada September. Selain itu, ada juga rencana untuk mengurangi neraca The Fed.

Kebijakan tersebut, kata Yosua, bakal direspons bank sentral dunia. Bank sentral Kanada bahkan sudah menaikkan bunganya dari 0,5 persen menjadi 0,75 persen. Di sisi lain, Bank sentral Eropa atau European Central Bank (ECB) juga kemungkinan akan mengurangi stimulus moneternya.

Stands global: tightening (kebijakan global: pengetatan). Menurut saya BI dan bank sentral di negara emerging market (ekonomi berkembang) masih berhati-hati. Kalau dalam bahasa BI, cautious accomodative (netral),” ucapnya.

Dengan pertimbangan tersebut, Yosua pun menilai kecil kemungkinan BI bakal memangkas lagi bunga acuan, meski pertumbuhan kredit masih rendah. Sebab, rendahnya pertumbuhan kredit diyakini lebih diakibatkan oleh lemahnya daya beli masyarakat, bukan hanya persoalan bunga kredit.

Selain itu, penurunan bunga acuan juga belum tentu direspons perbankan dengan menurunkan bunga kredit. Sebab, risiko kredit masih tinggi. Sepanjang tahun lalu, misalnya, bunga acuan turun 1,5 persen, tapi bunga kredit hanya turun 1 persenan. “Kenapa ada gap (perbedaan) karena dari sisi perbankan, risiko kredit masih ada,” ucapnya.

Sementara itu, Ekonom dari Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih mengatakan, ruang penurunan bunga masih ada seiring dengan inflasi yang stabil. Tapi, BI harus mengantisipasi potensi kenaikan suku bunga global seperti disampaikan Yosua. “Kalau BI turunkan, lalu eksternal naik signifikan, BI naikkan lagi. Lebih baik stabil 4,75 persen,” ucapnya.

Sejalan dengan Yosua, ia menambahkan, pertumbuhan kredit yang turun bukan hanya karena mahalnya bunga kredit, tapi permintaan kredit dari pelaku usaha yang melambat seiring permintaan masyarakat yang belum pulih. (Baca juga: Mulai Terpukul Lemahnya Daya Beli, Penjualan Mobil Anjlok 29%)

Hal itu tercermin dari peningkatan jumlah kredit yang tak dicairkan alias undisbursed loan. Pada akhir tahun lalu, jumlahnya 29% dari total komitmen, saat ini jumlahnya di kisaran 35 %. “Artinya pelaku usaha merasa tidak perlu ambil,” ucapnya.

Di sisi lain, Lana menambahkan, bila bunga acuan diturunkan, maka imbal hasil surat utang turun. Alhasil, harganya menjadi mahal dan kurang menarik bagi investor asing untuk masuk. “Padahal BI perlu untuk pupuk cadangan devisa. Ada kebutuhan BI untuk mengakomodir itu,” ucapnya.