Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) mencatat stabilitas sistem keuangan dan makroekonomi dalam kondisi normal. Namun, perlu mewaspadai sejumlah risiko dari global dan dalam negeri. Ada tiga faktor domestik yang bisa mengganggu stabulitas keuangan Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, hasil rapat KSSK akhir Januari lalu menyimpulkan bahwa stabilitas sistem keuangan pada kuartal IV-2016 dalam kondisi normal. Meski begitu, KSSK mencermati berbagai risiko baik dari eksternal ataupun internal.
(Baca: KSSK Bahas Langkah Penyelamatan Bumiputera oleh OJK)
Dari sisi eksternal, pemerintah mewaspadai pemulihan ekonomi global yang belum stabil. Selain itu, dinamika pasar keuangan global yang dipenuhi ketidakpastian juga perlu diwaspadai pemerintah. Hal ini terkait dengan arah kebijakan ekonomi pemerintah Amerika Serikat (AS) dan rencana kenaikan suku bunga dananya (Fed Rate).
Kebijakan di AS tersebut berpotensi menimbulkan sejumlah tekanan ke berbagai negara termasuk Indonesia. Tekanan itu terhadap arus keluar modal asing dan melemahnya nilai tukar rupiah.
Cina yang diharapkan bisa menyeimbangkan kondisi perekonomian dunia, malah turut berisiko menambah tekanan ke dalam negeri. “Kami juga lihat proses penyeimbang ekonomi di Cina, juga berprotensi bisa menimbulkan tambahan tekanan dan risiko tersebut,” kata Sri Mulyani saat konferensi pers di kantornya, Jakarta, Jumat (3/2).
(Baca: The Fed Masih Tahan Bunga, Rupiah Untung dari Pelemahan Dolar)
Dari sisi domestik, KSSK yang beranggotakan antara lain pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), melihat adanya sejumlah risiko yang dapat menekan stabilitas keuangan. Pertama, risiko inflasi dari komponen harga yang diatur pemerintah (administered prices).
Kedua, KSSK juga melihat persoalan penerimaan negara, terutama seretnya penerimaan pajak. Ketiga, upaya untuk pembiayaan utang yang dapat menekan pasar keuangan dan nilai tukar.
Dari sisi lembaga keuangan, Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Haddad mengatakan, pertumbuhan kredit sepanjang tahun lalu mencapai 7,87 persen. Sedangkan Dana Pihak Ketiga (DPK) tercatat tumbuh 9,6 persen.
(Baca: Pertebal Dana Penjaminan, LPS Kaji Penerbitan Obligasi)
Adapun, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) secara gross juga menurun ke posisi 2,93 persen dari sebelumnya di kisaran 3 persen. Secara netto juga membaik dari 1,4 persen menjadi 1,2 persen di akhir 2016.
Sementara itu, rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio/CAR) perbankan sebesar 22,91 persen pada 2016. Besaran modal ini bisa menyerap risiko dari kredit bermasalah. “Kapasitas menyerap risiko yang memadai ini, saya lihat ruang untuk mendorong penyaluran kredit ke depan cukup besar,” kata Muliaman.