Bank Indonesia (BI) kembali menahan suku bunga acuan BI-7-Day Repo Rate di level 4,75 persen. Keputusan tersebut diambil Dewan Gubernur BI dengan mempertimbangkan tren kenaikan bunga dana bank sentral Amerika Serikat (AS), Fed Fund Rate, yang bakal terus berlanjut tahun depan.
Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Makro Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung mengatakan, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksi mencapai 2,1 persen tahun depan. Pertumbuhan ekonomi tersebut berpotensi meningkatkan biaya pinjaman (cost of borrowing) di pasar keuangan global. Dengan begitu, mendorong kenaikan Fed Fund Rate lebih tinggi di tahun depan.
Sekadar informasi, pada Rabu (14/12), Federal Open Market Committee (FOMC) telah menaikkan Fed Fund Rate sebesar 0,25 persen ke rentang 0,5 – 0,75 persen. Langkah ini diproyeksi bakal berlanjut tahun depan. “Sebelumnya kami prediksi (Fed Fund Rate) naik dua kali di 2017. Kami lakukan re-assesment apakah tetap dua kali atau tiga kali karena semua ini penuh ketidakpastian,” kata Juda usai Rapat Dewan Gubernur di Gedung BI, Jakarta, Kamis (15/12).
Ia menjelaskan, dalam menentukan arah kebijakan moneter ke depan, BI bakal memantau kebijakan ekspansi fiskal presiden terpilih AS, Donald Trump. Sebab, kebijakan tersebut bisa mendorong Fed Fund Rate naik lebih tinggi dari prediksi. Bila ini terjadi maka tekanan di pasar global bakal meningkat, termasuk di pasar domestik.
Meski begitu, Juda menilai fundamental ekonomi Indonesia masih baik. Hal ini diyakini mampu membuat investor tak serta merta menarik dananya dari Indonesia.
Ia pun merinci proyeksi perekonomian tahun ini. Pertumbuhan ekonomi diproyeksi sebesar lima persen dan inflasi terjaga di kisaran 3-3,2 persen. (Baca juga: Sri Mulyani: Pondasi Ekonomi Kuat Hadapi Bunga The Fed)
Di sisi lain, defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) diproyeksikan sebesar 2,1 persen. Adapun cadangan devisa (cadev) diproyeksi bakal makin kuat akhir tahun ini, disokong oleh penerbitan obligasi global oleh pemerintah sebesar US$ 3,5 miliar.
Sebagai informasi, cadangan devisa berada di posisi US$ 111,5 miliar pada akhir November lalu. Posisi tersebut lebih tinggi dibanding bulan sama tahun lalu yang sebesar US$ 105,9 miliar.
Perekonomian domestik yang positif tersebut diklaim BI telah mampu membuat kurs rupiah relatif stabil, bahkan cenderung menguat. Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara menjelaskan, rupiah menguat 1,7 persen sejak awal tahun ini ke level 13.550 per dolar AS. (Baca juga: BPS Taksir Pelemahan Rupiah Sejak November Akan Berlanjut)
Namun, BI tetap mewaspadai tekanan berupa pembalikan modal asing (capital reversal). “Ke depan, BI akan terus waspadai capital reversal dan terus mengambil langkah stabilisasi kurs rupiah sesuai fundamental dan tetap percaya pada kinerja mekanisme pasar,” ujar Tirta.
Sejauh ini, Ekonom Universitas Gajah Mada Tony Prasetyantono melihat indikasi capital revearsal. Hal tersebut tampak dari indeks saham di bursa New York yang sudah menembus level tertinggi sepanjang masa yakni di posisi 19.700. Posisinya naik signifikan dibandingkan saat krisis tahun 2008 lalu yang berada di level 9.000. Ini artinya, investor di dunia memilih menaruh dana dan asetnya di AS agar lebih aman dan menjanjikan keuntungan lebih tinggi.
“Orang di seluruh dunia dalam rangka menyelamatkan asetnya, lebih baik memilih aset (investasi) berdenominasi dolar AS,” kata Tony dalam seminar Outlook Ekonomi 2017 di Jakarta, Kamis (15/12). (Baca juga: Tax Amnesty Bisa Meredam Keluarnya Dana Asing dari Indonesia)
Meski begitu, dia yakin kondisi tersebut tidak akan berlangsung lama. Sebab, kenaikan harga saham dapat menciptakan financial bubble, yang pada suatu saat nanti dapat meletus sehingga membahayakan perekonomian.
Di sisi lain, Tony menilai program pengampunan pajak bisa menjadi alat untuk meminimalisir besarnya dana asing yang keluar. Sebab, pemerintah mendapatkan tambahan penerimaan untuk menekan defisit anggaran. Selain itu, adanya dana masuk ke dalam negeri melalui repatriasi hasil tax amnesty.