Tingkat kepatuhan korporasi di Indonesia. yang wajib melakukan lindung nilai (hedging) valuta asing (valas) semakin meningkat. Hal ini berdampak terhadap berkurangnya risiko gagal bayar utang valas perusahaan.
Bank Indonesia (BI) mencatat, saat Peraturan BI (PBI) tentang penerapan prinsip kehati-hatian valas oleh korporasi mulai berlaku tahun 2014, tingkat kepatuhan korporasi melakukan hedging valas sebesar 78 persen. Kini, besarannya telah meningkat menjadi 87 persen dari total perusahaan yang diwajibkan melakukan lindung nilai tersebut.
Bahkan, BI mencatat, sebanyak 91 persen korporasi telah menjalankan kewajiban hedging valas terhadap utang yang jatuh tempo enam bulan. Alhasil, tingkat kepatuhan korporasi menjaga likuiditas pun meningkat menjadi 84 persen.
(Baca: Tekan Risiko, Transaksi Lindung Nilai Melonjak Tajam)
Di sisi lain, jumlah transaksi lindung nilai terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Hal itu terlihat dari peningkatan porsi transaksi derivatif di pasar valas domestik dibandingkan total transaksi valas yang mencapai 40 persen pada tahun ini. Padahal, pada tahun lalu porsinya masih 35 persen.
Mengacu kepada sejumlah pencapaian tersebut, Gubernur BI Agus Martowardojo meyakini risiko terjadinya gagal bayar utang korporasi akan semakin berkurang. Kendati risiko gejolak nilai tukar rupiah meningkat dan lebih tinggi dibandingkan negara-negara lain, seperti India dan Kolombia. Namun, kondisi Indonesia masih lebih baik dibandingkan beberapa negara lain, seperti Chili, Rusia, dan Turki.
(Baca: Waspadai Efek Superdolar, BI Awasi Lindung Nilai Utang Swasta)
Di sisi lain, Agus melihat risiko kinerja perusahaan-perusahaan di Indonesia memang cenderung melemah di tengah kondisi perambatan ekonomi, baik di dunia maupun dalam negeri. Tapi, kinerja perusahaan di Indonesia masih di kisaran rata-rata dan lebih baik ketimbang Turki dan Nigeria yang kondisinya mengkhawatirkan.
Sementara itu, sektor perbankan semakin berperan menyediakan sarana lindung nilai valas. Pada Rabu ini (25/5), delapan perusahaan meneken perjanjian hedging valas dengan tiga bank milik negara (BUMN) yaitu Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Mandiri.
Delapan perusahaan itu adalah: Pupuk Indonesia, Perusahaan Gas Negara (PGN), Badan Urusan Logistik (Bulog), Pelindo II, Pelindo III, Perum Peruri, Aneka Tambang dan Semen Baturaja. Total nilai valas yang dilindungnilaikan mencapai US$ 1,92 miliar atau sekitar Rp 25,73 triliun. Perinciannya: kepada BRI sebesar US$ 750 juta, BNI US$ 19 juta, dan Bank Mandiri US$ 555 juta.
(Baca: Menguat 6 Persen, Rupiah Terbaik atas Mata Uang Utama Dunia)
Agus menyambut baik peran perbankan dalam memperkuat kemampuan korporasi untuk mengelola risiko valasnya. “Perusahaan yang aktif melakukan transaksi derivatif bisa memberikan program edukasi bagi korporasi lain,” katanya saat acara penandatanganan perjanjian hedging valas delapan korporasi tersebut di Gedung BI, Jakarta, Rabu (25/5).
Ke depan, Agus meminta perbankan terus meningkatkan pengembangan produk derivatif untuk tujuan lindung nilai. Karena, kegiatan ini akan mendukung stabilitas makroekonomi, yang pada akhirnya menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Selain itu, Agus mendorong perusahaan swasta agar terus melakukan hedging untuk mengurangi risiko keuangannya. Dengan melakukan hedging, ada kepastian bagi perusahaan dalam menghitung harga pokok produksi sehingga pengelolaan arus kasnya lebih terjamin. Ujung-ujungnya, hal itu bakal meningkatkan kepercayaan investor. “Keuntungannya, risiko gagal bayar bisa dihindari,” ujarnya.