KATADATA ? Bayangan krisis ekonomi 1997-1998 merupakan momok yang dihadapi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) saat mengambil kebijakan terhadap bank Century pada 2008. Pada saat itu, pemerintah menutup 16 bank atas saran International Monetary Fund (IMF) yang kemudian berdampak pada kolapsnya sistem keuangan di Tanah Air.
Dalam buku Sejarah Bank Indonesia Periode V, Bank Indonesia (BI) menuturkan penutupan 16 bank pada akhir 1997 telah menimbulkan keresahan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap perbankan. Padahal hingga pertengahan 1997, kegiatan perbankan masih berkembang dengan cepat. Perputaran uang di masyarakat meningkat pesat dan ekspansi kredit tetap kuat.
Namun situasi krisis yang melanda Asia sejak pertengahan 1997 membuat situasi perekonomian semakin ketat. Ekspansi kredit membuat kewajiban perbankan nasional dalam valuta asing meningkat tajam, dan menggerus devisa dan melemahkan nilai tukar rupiah.
Di sisi lain, kredit macet (non performing loan/ NPL) pada beberapa bank cenderung meningkat dan efisiensi usaha memburuk. Kesulitan likuiditas semakin terasa ketika penabung, deposan, dan kreditur lainnya menarik dana dari beberapa bank.
Banyak bank yang memiliki saldo negatif pada rekening giro di Bank Indonesia. Akhirnya dana di pasar uang antar-bank (PUAB) mulai langka, dan bunganya mencapai 200 persen per tahun untuk jangka waktu satu malam.
Saat itu, BI sudah melakukan upaya mengatasi kesulitan likuiditas bank dengan pemberian fasilitas saldo debet, SBI-Repo Khusus, dan diskonto. Namun, kebijakan ini belum juga berhasil mengatasi tekanan perbankan. Hingga akhirnya pemerintah meminta bantuan kepada IMF lewat penandatanganan Letter of Intent (LoI) pada 31 Oktober 1997.
Hasilnya, pemerintah bisa memberikan bantuan darurat kepada perbankan, berupa Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Namun, sebagai syarat dari pinjaman sebesar US$ 10 miliar tersebut, pemerintah harus menutup 16 bank yang dinilai tidak mampu memenuhi kewajibannya.
Pada dasarnya, 16 bank yang ditutup ini bukanlah bank yang tergolong besar, meski memiliki 400 kantor dan 800.000 rekening yang tersebar di Tanah Air. Dari nilai asetnya hingga akhir 1996, Bank Harapan Santosa tercatat yang paling tinggi dan termasuk kelompok bank yang memiliki aset Rp 1-10 triliun. Bank ini menduduki peringkat 11 di antara bank-bank lainnya.
Sementara nilai aset 15 bank lainnya, seperti Bank Pacific pada peringkat 19, Sejahtera Bank Umum (21), Bank Industri (56), South East Asia Bank (63), Bank Pinaesaan (69), Bank Jakarta (85), Bank Umum Majapahit Jaya (114) dan Anrico Bank (140). Nilai aset Bank Andromeda berada pada peringkat 40, Astria Raya Bank (53), Bank Mataram Dhanaarta (84), Bank Guna Internasional (90), Bank Dwipa Semesta (125), Bank Citrahasta Danamanunggal (131), dan Bank Kosagraha Semesta (145).
Pencabutan izin usaha terhadap 16 bank ini awalnya memang dimaksudkan untuk penyehatan perbankan dan mengembalikan kepercayaan masyarakat. Di luar dugaan, ternyata malah memberikan hasil yang sangat jauh dari perhitungan. Masalahnya, meski tergolong bank kecil, penutupan 16 bank ini menimbulkan kepanikan yang luar biasa bagi nasabahnya dan nasabah bank lain.
Kepanikan nasabah dengan menarik uangnya besar-besaran di bank (bank runs) dan pemindahan dana dari bank-bank yang dianggap lemah ke bank-bank yang dianggap kuat tak bisa terhindarkan. Bank pemasok dana pun mulai selektif meminjamkan dananya.
Masyarakat mulai merasa akan ada pencabutan izin usaha berikutnya untuk bank-bank lain. Di sisi lain, nasabah bank mengetahui bahwa jumlah simpanan yang dibayar pada 16 bank yang ditutup tersebut, maksimal hanya Rp 20 juta. Sedangkan sisa simpanan di atas Rp 20 juta akan dibayar dari hasil pencairan aset-aset bank yang dilikuidasi karena tidak ada jaminan untuk memberikan jaminan penuh.
Kepercayaan perbankan di luar negeri juga merosot. Bank-bank internasional menolak untuk melakukan transaksi valas terhadap letter of credit yang diterbitkan bank-bank Indonesia. Makanya, pada akhir Desember 1997, BI mencatat giro negatif pada 25 bank, yang mencapai Rp 20,9 triliun.
(Baca: Sri Mulyani Tahu Bailout Century Bisa Membengkak)
Kondisi yang sama juga terjadi di Eropa pada 2007. Untuk pertama kalinya dalam 140 tahun, sejarah perbankan Inggris mengalami kekacauan. Dampak krisis di Amerika Serikat berpengaruh terhadap salah satu bank kecil di Inggris, yaitu Northern Rock Bank.
Bank lain enggan meminjamkan dananya di pasar uang, yang membuat Northern Rock kesulitan likuiditas. Akhirnya Bank of England memberikan fasilitas pembiayaan (Liquidity Support Facility /LSF) kepada bank tersebut pada 13 September 2007.
Mendengar kabar Northern Rock Bank mendapat LSF, para nasabah pun panik dan secara bersama-sama menarik dananya di bank tersebut. Dalam dua hari saja, dana yang ditarik nasabah mencapai 2 miliar poundsterling.
Penarikan dana besar-besaran oleh para nasabah memicu gejolak perekonomian. Berbagai stasiun televisi menyiarkan antrean panjang nasabah yang ingin menarik dananya dari bank ini.
Untuk menghentikan kepanikan nasabah, Departemen Keuangan Inggris (The Treasury) pun memberikan jaminan terhadap seluruh kewajiban Northern Rock pada 18 September 2007. Bank ini akhirnya diambilalih oleh pemerintah Inggris. Belajar dari Northern Rock, pemerintah Inggris pun menempatkan kepemilikan di semua bank swasta negara tersebut.
Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku langkahnya menyelamatkan Bank Century telah mempertimbangkan manfaat dan mudaratnya bagi Indonesia. "Saya sebagai pembuat kebijakan harus memperhatikan mudarat sekecil-kecilnya," ujar Sri Mulyani ketika bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (2/5).
(Baca: Penyelamatan Century Hindari Kerugian Lebih Besar)
Dia tidak ingin kondisi yang pernah terjadi pada 1997 terulang pada 2008. Karena menurutnya ada kondisi yang hampir sama terjadi pada saat Indonesia dikelilingi ancaman krisis perekonomian.
Menurutnya, dalam sejarah sistem keuangan dunia, tidak pernah ada negara yang bisa lolos dari krisis psikologis masyarakat. Kegagalan Bank Century akan membawa dampak dan biaya yang besar terhadap perekonomian Indonesia, yaitu runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan.